Jika dalam postingan
sebelumnya disebutkan bahwa relasi selalu terjadi di alam personal, berarti
jelas bahwa yang terlibat dalam setiap relasi adalah hanya diri sendiri. Apakah
betul begitu? Bila ya, bagaimana dengan kehadiran pihak lain? Bukankah
adakalnya dalam relasi ada kehadiran pihak lain? Bila kita bicara tentang
perilaku di alam personal, memang tidak ada keterlibatan pihak lain, karena
yang ada dalam alam personal hanyalah komponen-komponen perilaku kita seendiri
yang saling berinteraksi. Akan tetapi, terkait dengan perilaku kita di alam
sosial, selalu ada keterlibatan atau minimal sekadar kehadiran pihak lain.
Dengan demikian, walau sudah disebut bahwa relasi masing-masing pihak, secara
nyata hal itu tidak dapat mengabaikan adanya kehadiran pihak lain. Jadi,
artinya dalam relasi juga ada keterlibatan pihak lain, selain diri sendiri.
Walaupun demikian,
kehadiran pihak lain itu sesungguhnya mengandung makna refleksi atau cermin.
Artinya, secara prinsip ketika relasi terjalin yang terjadi ialah interaksi
diantara diri kita dengan bayangan atau refleksi diri kita yang terpantul
melalui pihak lain. Hal ini memperjelas paparan tentang prasyarat “transaksi
positif” yang perlu ada dalam relasi, dimana hal itu hanya akan terjadi kalau
proses berpikir asosiatif yang kita tampilkan menunjukan hasil bahwa memang
ada kecocokan diantara apa yang dipantulkan pihak lain melalui perilakunya,
dengan apa yang kita butuhkan untuk memperoleh apa yang kita inginkan pada saat
itu, di tempat itu.
Menurut Alice Miller
dalam bukunya “The Drama of The Gifted Child” dijelaskan bahwa kontak natural
alamiah, yang terjadi antara diri kita dan kebutuhan-kebutuhan yang kita
miliki, akan memberi kita kekuatan dan harga diri. Pengalaman kita saat bayi,
bersama sosok ibu pada masa itu, akan menjadi pedoman apakah kita akan tumbuh
dan berkembang menjadi pribadi yang sehat atau tidak. Perasaan tidak Nyaman yang
kita rasakan sesaat kita ketika kita dilahirkan, akan menghasilkan pedoman
negative, ketika hal itu ditanggapi oleh sang ibu dengan reaksi negaatif
(contoh: menangis, mengeluh sakit, takut, menjaga jarak atau menolak, dan
lain-lain). Sebaliknya, kebutuhan untuk memperoleh rasa nyaman yang dirasakan
saat itu, akan menghasilkan pedoman positif bila ibu menanggapinya dengan
reaksi positif (contoh: tertawa, mengucap syukur, membelai, mencium lembut, dan
lain-lain).
Pemahaman tersebut juga
didukung oleh pernyataan William Glasser bahwa manusia berperilaku selalu
ditunjukan untuk mendapatkan lebih banyak kendali atas hidup dan dunia yang ia
tempati. Viktor Frankl juga pernah mengatakan bahwa manusia selalu berupaya
melakukan hal-hal yang bermakna bagi dirinya, agar ia merasa berarti dan
menjadi nyaman karenanya. Dengan begitu, semakin jelas bahwa sesungguhnya,
kalau kita memilih untuk bersepakat dengan pihak lain dan kita memilih untuk
menjalin relasi dengan piihak lain, hal itu semata-mata adalah upaya kita untuk
dapat memenuhi kebutuhan diri kita demi mendapatkan rasa nyaman yang diidamkan.
Jadi, bukan tentang apa yang dimilki dan/atau ditampilkan pihak lain, tetapi
selalu tentang apakah ada kecocokan dengan apa yang kita miliki dan/atau
butuhkan.
Penjelasan bahwa hanya diri sendiri yang
terlibat dalam setiap relasi juga dapat diperoleh dari pemahaman bahwa
kebanyakan orang membuat keputusan memakai pola berpikir otomatis (bersifat
asosiatif), bukan berpikir terkontrol (bersifat rasional). Jelas bahwa
tanggapan yang kita tampilkan atas perilaku yang dipaparkan pihak lain terhadap
kita , tidak semata-mata merupakan reaksi atas perilaku yang kita terima atau
alami, tetapi lebih rumit dari itu, tanggapan yang kita tampilkan merupakan
hasil dari proses yang terjadi dalam diri kita, secara asosiatif berdasarkan
apa yang kita butuhakn pada saat itu, di tempat itu. maka, dalam pemahaman
tentang realasi, yang penting bukanlah apa yang dilakukan pihak lain terhadap
kita, tetapi apa yang terjadi dalam ruang asosiasi kita terkait peristiwa yang
kita alami pada saat itu, di tempat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar