Senin, 26 Desember 2016

DUSTA

KEDUSTAAN
Dusta merupakan perbuatan yang tidak asing bagi kita bahkan sangat mudah untuk dijumpai. Dengan banyak alasan, dusta merupakan hal yang dilarang dalam semua kebudayaan. Bahkan, masyarakat jahiliyah pun menganggap perbuatan ini sebagai perbuatan yang rendah. Sebaliknya, orang yang jujur dan amanah mereka anggap sebagai orang yang memiliki kemuliaan. Maka dari itu, Islam mengukuhkan haramnya dusta dan membuat koridor serta aturan yang baku mengenainya. Hal ini merupakan realisasi agama Islam sebagai agama yang mengajarkan akhlak mulia, sebagai ajaran yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam).
Pengertian Dusta
Dusta adalah memberitakan tidak sesuai dengan kebenaran, baik dengan ucapan lisan secara tegas maupun dengan isyarat seperti menggelengkan kepala atau mengangguk.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam telah menyebutkan dusta sebagai salah satu tanda kemunafikan. Beliau bersabda yang artinya,
“Tanda orang yang munafik ada tiga: jika berkata dia dusta, jika berjanji dia ingkari, dan jika diamanahi dia khianat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dusta terbagi menjadi dua, yakni:
1.      Dusta yang disengaja
Dusta yang masuk pada bagian ini hukumnya berbeda-beda, terkadang menjadikan seseorang kafir, keluar dari agama Islam, yaitu dusta dalam bentuk pengingkaran, sebagaimana pengingkaran ahlul kitab dan kaum musyrikin kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Diantara bentuk yang lain adalah dusta penisbatan, yaitu membuat suatu kedustaan kemudian disandarkan kepada syari’at Allah atau kepada pembawa syari’at, kedustaan seperti ini ancaman bagi pelakunya adalah neraka, Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من ال
“Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di dalam neraka”.
2.      Dusta yang tidak disengaja
Dusta pada bagian ini terkadang menyerupai keterpaksaan. Diantara bentuk yang terpaksa ini adalah apa yang pernah dilakukan oleh Al-Khalil Ibrahim ‘Alaihi Salam, ketika beliau berkata kepada istrinya untuk mengatakan bahwa beliau adalah saudaranya, dan ini adalah membawa suatu bentuk yang sebenarnya kepada bentuk yang mendekati kepada keadaan yang sebenarnya, karena perkataanya “saudaraku” adalah dibawa kepada maksud yang lain, yaitu saudara seiman, Allah berkata:
إنما المؤمنون إخوة
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu adalah bersaudara”.
Bentuk seperti yang kita sebutkan ini khusus bagi yang terpaksa atau darurat sebagaimana Al-Khalil ‘Alaihis Salam, kalau beliau berterus terang ya’ni dengan terang-terangan menyatakan sebagai “istrinya” atau istrinya menyatakan “sebagai “suaminya” maka Al-Khalil akan dibunuh dan istrinya akan dirampas oleh raja. Merupakan suatu kesalahan bila orang melakukan hal ini dengan tanpa adanya unsur darurat atau keterpaksaan.
Dusta yang Diperbolehkan & Tidak Diperbolehkan
Secara asalnya, semua dusta terlarang dalam Islam. Namun, sebagai agama pertengahan yang tidak berlebihan dan mengurang-ngurangi, Islam memiliki pengecualian dalam berdusta. Karena, terkadang berdusta dibutuhkan pada waktu-waktu tertentu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memberikan keringanan untuk berdurta dalam tiga keadaan: untuk memperbaiki hubungan antara suami istri, memperbaiki hubungan antara dua orang, dan kebohongan dalam peperangan. Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
“Tidak halal berdusta kecuali pada tiga keadaan: seorang laki-laki berbicara kepada istrinya, dusta dalam peperangan, dan dusta untuk memperbaiki hubungan antara manusia.” (HR. At-Tirmidzi dari Asma’ binti Yazid radhiyallahu ‘anha, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullahu) Para ulama sepakat bolehnya berdusta pada tiga keadaan ini.
Dusta dalam bergurau
Lalu bagaimana dengan dusta untuk bergurau? Apakah termasuk yang dikecualikan? Jawabannya terkandung dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang artinya,
“Celaka orang yang berbicara kemudian berdusta untuk membuat tertawa manusia, celakalah ia, celakalah ia.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari sahabat Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu, hadits ini hasan menurut Syaikh Al-Albani rahimahullahu).
Meninggalkan berkata dusta meskipun hanya gurauan adalah kesempurnaan iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda yang maknanya,
“Seorang hamba tidak beriman secara sempurna hingga dia meninggalkan dusta meskipun hanya bergurau.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani, dari sahabat Abu Hurairah rahimahullahu, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan, “Derajat hadits ini shahih lighairih” di dalam kitab Shahih At-Targhib)
Dusta kepada anak
Bagaimana dengan berdusta kepada seorang anak? Meskipun hanya berdusta kepada anak kecil agar datang kepadanya, hal itu tidak diperbolehkan di dalam agama Islam. Rasul shallallahu ‘alaihi wassalam telah bersabda:
“Barangsiapa mengatakan kepada seorang anak, ‘Kesini nak, aku beri kamu.’ Lalu dia tidak memberinya, maka ini adalah sebuah kedustaan.” (HR. Ahmad, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu).


Sumber: 
Majalah Tashfiyah edisi 03 vol. 01 1432 H – 2011 M, dalam artikel ‘Dusta dalam Canda’ hal. 68-70, dengan sedikit perubahan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar