KEDUSTAAN
Dusta merupakan
perbuatan yang tidak asing bagi kita bahkan sangat mudah untuk dijumpai. Dengan
banyak alasan, dusta merupakan hal yang dilarang dalam semua kebudayaan.
Bahkan, masyarakat jahiliyah pun menganggap perbuatan ini sebagai perbuatan
yang rendah. Sebaliknya, orang yang jujur dan amanah mereka anggap sebagai
orang yang memiliki kemuliaan. Maka dari itu, Islam mengukuhkan haramnya dusta
dan membuat koridor serta aturan yang baku mengenainya. Hal ini merupakan
realisasi agama Islam sebagai agama yang mengajarkan akhlak mulia, sebagai
ajaran yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam).
Pengertian Dusta
Dusta adalah
memberitakan tidak sesuai dengan kebenaran, baik dengan ucapan lisan secara
tegas maupun dengan isyarat seperti menggelengkan kepala atau mengangguk.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wassalam telah menyebutkan dusta sebagai salah satu tanda
kemunafikan. Beliau bersabda yang artinya,
“Tanda orang yang munafik ada tiga:
jika berkata dia dusta, jika berjanji dia ingkari, dan jika diamanahi dia
khianat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dusta terbagi menjadi dua, yakni:
1.
Dusta yang disengaja
Dusta yang masuk pada bagian ini hukumnya
berbeda-beda, terkadang menjadikan seseorang kafir, keluar dari agama
Islam, yaitu dusta dalam bentuk pengingkaran, sebagaimana pengingkaran
ahlul kitab dan kaum musyrikin kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Diantara bentuk yang lain adalah dusta penisbatan, yaitu membuat
suatu kedustaan kemudian disandarkan kepada syari’at Allah atau kepada pembawa
syari’at, kedustaan seperti ini ancaman bagi pelakunya adalah neraka,
Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من ال
“Barang siapa berdusta
atas namaku dengan sengaja maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya
di dalam neraka”.
2.
Dusta yang tidak disengaja
Dusta pada bagian ini terkadang
menyerupai keterpaksaan. Diantara bentuk yang terpaksa ini adalah apa yang
pernah dilakukan oleh Al-Khalil Ibrahim ‘Alaihi Salam, ketika beliau
berkata kepada istrinya untuk mengatakan bahwa beliau adalah saudaranya,
dan ini adalah membawa suatu bentuk yang sebenarnya kepada bentuk yang
mendekati kepada keadaan yang sebenarnya, karena perkataanya “saudaraku”
adalah dibawa kepada maksud yang lain, yaitu saudara seiman, Allah berkata:
إنما المؤمنون إخوة
“Sesungguhnya orang-orang
beriman itu adalah bersaudara”.
Bentuk seperti yang kita sebutkan ini khusus bagi yang
terpaksa atau darurat sebagaimana Al-Khalil ‘Alaihis Salam, kalau beliau
berterus terang ya’ni dengan terang-terangan menyatakan sebagai “istrinya”
atau istrinya menyatakan “sebagai “suaminya” maka Al-Khalil akan dibunuh
dan istrinya akan dirampas oleh raja. Merupakan suatu kesalahan bila
orang melakukan hal ini dengan tanpa adanya unsur darurat atau keterpaksaan.
Dusta yang Diperbolehkan &
Tidak Diperbolehkan
Secara asalnya,
semua dusta terlarang dalam Islam. Namun, sebagai agama pertengahan yang tidak
berlebihan dan mengurang-ngurangi, Islam memiliki pengecualian dalam berdusta.
Karena, terkadang berdusta dibutuhkan pada waktu-waktu tertentu. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wassalam memberikan keringanan untuk berdurta dalam tiga
keadaan: untuk memperbaiki hubungan antara suami istri, memperbaiki hubungan
antara dua orang, dan kebohongan dalam peperangan. Beliau shallallahu ‘alaihi
wassalam bersabda,
“Tidak halal berdusta kecuali pada
tiga keadaan: seorang laki-laki berbicara kepada istrinya, dusta dalam
peperangan, dan dusta untuk memperbaiki hubungan antara manusia.” (HR.
At-Tirmidzi dari Asma’ binti Yazid radhiyallahu ‘anha, dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani rahimahullahu) Para ulama sepakat bolehnya berdusta pada tiga keadaan
ini.
Dusta dalam bergurau
Lalu bagaimana
dengan dusta untuk bergurau? Apakah termasuk yang dikecualikan? Jawabannya
terkandung dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang artinya,
“Celaka orang yang berbicara kemudian
berdusta untuk membuat tertawa manusia, celakalah ia, celakalah ia.” (HR. Abu
Dawud dan At-Tirmidzi dari sahabat Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu,
hadits ini hasan menurut Syaikh Al-Albani rahimahullahu).
Meninggalkan berkata
dusta meskipun hanya gurauan adalah kesempurnaan iman. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wassalam pernah bersabda yang maknanya,
“Seorang hamba tidak beriman secara
sempurna hingga dia meninggalkan dusta meskipun hanya bergurau.” (HR. Ahmad dan
Ath-Thabarani, dari sahabat Abu Hurairah rahimahullahu, Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu mengatakan, “Derajat hadits ini shahih lighairih” di dalam kitab
Shahih At-Targhib)
Dusta kepada anak
Bagaimana dengan
berdusta kepada seorang anak? Meskipun hanya berdusta kepada anak kecil agar
datang kepadanya, hal itu tidak diperbolehkan di dalam agama Islam. Rasul
shallallahu ‘alaihi wassalam telah bersabda:
“Barangsiapa mengatakan kepada seorang
anak, ‘Kesini nak, aku beri kamu.’ Lalu dia tidak memberinya, maka ini adalah
sebuah kedustaan.” (HR. Ahmad, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu).
Sumber:
Majalah Tashfiyah edisi 03 vol. 01
1432 H – 2011 M, dalam artikel ‘Dusta dalam Canda’ hal. 68-70, dengan sedikit
perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar