Filosofi Uang
Uang, uang dan uang………
Istilah
seperti ini sudah tidak asing lagi bagi kita, bahkan istilah ini sangat
berkaitan erat dengan kehidupan kita, terlebih untuk keberlangsungan hidup
semua orang. Ya, seperti yang kita ketahui bahwa uang merupakan alat pertukaran
yang sah dalam kehidupan ini. Oleh karenanya, semua orang di dunia ini
membuthkan uang. Makanya wajar saja kalau demi uang tersebut, sebagian kita
sampai menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.
Tapi, sudahkah
kita sebagai pecinta uang memahami makna filosofis dibalik dicetaknya uang
tersebut? Jangan-jangan karena kita tidak memahaminya dengan benar, maka pada
akhirnya justru kita yang sering diperbudak oleh uang. Bukan kita yang
memperbudak uang itu sendiri. Ulasan berikut ini semoga bisa menjadi tambahan
wawasan baru bagi kita para pecinta uang dan pada akhirnya bisa berlaku bijak
terhadap yang namanya uang itu.
Filosifi
uang kertas
Konon, bank Indonesia sebagai yang punya otoritas
penerbitan pecahan mata uang rupiah, sudah menanamkan satu filosofi dan maksud
tertentu dari pengalokasian pecahan uang berdasarkan gambar dari uang tersebut
(terutama pada uang kertas). Harapannya, para pengguna uang itu sesuai dengan
filosofi dan maksud yang sudah ditanamkan lebih dulu. Coba kita saksikan gambar
uang kertas di atas. Ada pecahan uang kertas Rp.1.000,- , Rp.5.000,- ,
Rp.10.000,- , Rp.20.000,- , Rp.50.000,- dan pecahan Rp.100.000,-. Dalam gambar
di atas, pecahan uang kertas Rp.2.000,- kebetulan belum dimasukkan.
Kalau disaksikan pada gambar masing-masing uang tersebut,
terlihat gambar para pahlawan yang sudah berjasa untuk bangsa ini. Akan tetapi,
pose mereka inilah yang mengandung filosofi yang berbeda-beda bila dikaitkan
dengan nilai nominal uangnya. Mari kita lihat pada pecahan terkecil yaitu Rp.1.000,-
dan pecahan terbesar yaitu Rp.100.000,- dan boleh juga Rp.50.000,-.
Mari lihat uang pecahan Rp.1.000,- berikut. Pecahan ini
bergambar pahlawan kebangaan masyarakat Maluku yaitu Kapitan Pattimura dengan
pose menenteng sebilah senjata golok. Nah sekarang, mari lihat uang pecahan
Rp.100.000,- dan Rp.50.000,- berikut. Pecahan ini bergambar pahlawan kebangaan
masyarakat Bali yaitu I Gusti Ngurah Rai (pecahan Rp.50.000,-) dan duet
founding fathers Republik Indonesia yaitu Soekarno dan Moehammad Hatta (pecahan
Rp.100.000) dengan pose mengenakan peci. Kenapa uang pecahan Rp.1.000,- bergambar
Pattimura menenteng golok?
Ini dimaksudkan bahwa uang pecahan Rp. 1.000,- ini memang
pantasnya dibawa/diperuntukkan ketika kita sedang membawa alat kerja/senjata.
Dimanakah biasanya orang bawa alat kerja? Ya bisa ditempat kerja kita atau ke
pasar. Sehingga ini dimaksudkan, supaya ketika kita bekerja atau belanja ke
pasar, kita tidak boros menghamburkan uang. Karena yang dibawa pecahan Rp. 1.000,-.
Maka jadilah masyarakat Indonesia pecinta uang ini bijak dalam pembelanjaan
uangnya, tidak boros menghambur-hamburkan rupiah.
Lantas, bagaimana dengan pecahan Rp.50.000,- atau
Rp.100.000,-? Kenapa memakai peci? Kemanakah biasanya orang-orang pergi dengan
memakai peci? Tentu kita semua paham bahwa orang pergi pakai peci itu biasanya
ke tempat ibadah (masjid, musholla dan tempat ibadah lain) dengan performa keIndonesiaan,
atau ke tempat-tempat kegiatan sosial dan forum formal lainnya. Apa maksud dari
semua ini? Maksudnya, uang tersebut (pecahan Rp.50.000,- atau Rp.100.000,-) sudah
sepantasnya kita bawa ke tempat-tempat ibadah dan kegiatan sosial. Keluarkanlah
itu untuk kita belanjakan di tempat ibadah dan kegiatan sosial sebagai amal
jariyah.
Masalahnya
kan, sekarang karena tidak memahami filosofinya, maka kebanyakan kita salah
dalam memaknai uang tersebut. Jadilah ekspresinya terbalik-balik.
Ketika kita ke tempat ibadah dan kegiatan sosial, yang kita
bawa adalah pahlawan Pattimura dengan goloknya. Pantaslah kalau kemudian di
tempat ibadahpun kita pada suka berselisih dan berantem dengan jamaah ibadah
yang lain. Kok bisa begitu? Ya karena golok yang kita bawa. Bahkan kadang kita
suka mengganggu kekhusyukan ibadah jamaah lain karena bunyi glondang yg keras dari
uang recehan logam yang kita masukkan ke dalam kotak amal. Sudah sedikit, bikin
kaget orang lain lagi. Dan ketika kita ke tempat perbelanjaan, justru yang kita
bawa biasanya I Gusti Ngurah Rai atau duet Bung Karno dan Bung Hatta. Jadilah
kita manusia pemboros dan tidak bisa mengerem nafsu belanja kita.
Nah … seandainya kita memahami dengan baik filosofi dari
uang tersebut dan mengaplikasikannya pada tempat yang tepat, tentu kita semua
akan menjadi manusia-manusia yang lebih makmur dan berkah. Karena, tidak ada ceritanya
orang yang bangkrut gara-gara selalu mengajak I Gusti Ngurah Rai atau duet Bung
Karno dan Bung Hatta ke tempat-tempat ibadah. Karena Allah berjanji akan
melipatgandakannya bagi siapa yang ikhlas. Berlipat ganda menjadi 10 kali, 100
kali, 700 kali bahkan beribu-ribu kali. Terserah allah mau melipatgandakannya
jadi berapa kali.
Dan tidak ada ceritanya orang yang tambah makmur ketika I
Gusti Ngurah Rai atau duet Bung Karno dan Bung Hatta itulah yang selalu dibawa
ke pasar, mall dan pusat perbelanjaan yang lain. Justru kebangkrutanlah yang
selalu mengintai.
Jadi, uraian diatas mengajarkan kita untuk lebih bijak lagi dalam mengelola dan membelanjakan uang sebagaimana yang tertera dalam filosofis uang kertas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar