Rabu, 28 Desember 2016

10 Sikap Bahagia Mahatma Gandhi



10 Sikap Bahagia Mahatma Gandhi
Kebahagiaan adalah impian semua orang, banyak dari kita yang menginginkan kebahagiaan sehingga melakukan apa pun agar dapat bahagia. lantas bagaimanakah cara mencapai kebahagiaan? berikut ini ialah cara untuk mencapai kebahagiaan yang di kemukakan oleh Mahatma Gandhi (1869-1948), seorang pemimpin spiritual, politisi, pejuang, dan aktivis perdamaian dunia yang mengungkapkan pemikirannya dalam 10 poin:
1.      Lepaskanlah rasa khawatir dan ketakutan
Ketakutan & kekuatiran hanyalah imajinasi pikiran akan suatu kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi, kebanyakan hal-hal yang anda khawatirkan & takutkan tak pernah terjadi! It’s all only in your mind.
2.      Jangan dendam
Dendam dan amarah yang disimpan hanya akan menyedot energi serta mendatangkan kelelahan dalam jiwa atau batin. Buanglah!
3.      Berhenti mengeluh
Mengeluh berarti “tidak menerima apa yang ada saat ini”. Secara tak sadar, kita membawa-bawa beban negatif.
4.      Selesaikan masalah satu-persatu
Bila ada masalah, selesaikan satu persatu. Ini cara paling efektif untuk menangani banyak persoalan.
5.      Tidurlah dengan nyenyak
Masalah yang terjadi, tidak perlu dibawa tidur. Hal tersebut buruk dan tidak sehat. Biasakanlah tidur dengan nyaman.
6.      Jauhi urusan orang lain
Biarkan masalah orang lain menjadi urusan mereka sendiri. Mereka memiliki cara sendiri untuk menyelesaikan masalahnya.
7.      Hiduplah saat ini, bukan masa lalu
Nikmati masa lalu sebagai kenangan, dan jangan bergantung padanya. Fokus dan konsentrasilah pada kejadian saat ini, karena apa yang kita miliki adalah saat ini, bukan kemarin, bukan besok!
8.      Jadilah pendengar yang baik
Saat menjadi pendengar, kita bisa belajar sekaligus mendapatkan ide dari pengalaman orang lain.
9.      Berpikirlah positif
Rasa frustasi datang dari pikiran negatif. Maka berpikir dan bertemanlah dengan orang-orang yang berpikiran positif, serta terlibatlah dengan kegiatan-kegiatan positif.
10.  Bersyukur
Sekecil apapun karunia yang kita terima, jika kita bisa mensyukurinya, pasti akan menghasilkan hal-hal besar dan membawa kita kepada kebahagiaan.
Demikianlah 10 sikap bahagia dari Maghatma Gandhi seorang pemimpin spiritual, politisi, pejuang, dan aktivis perdamaian dunia. Semoga dapat bermanfaat……



Senin, 26 Desember 2016

Lampiran Sertifikat Seminar Nasional dan Bedah Buku dengan tema "Struktur Fundamental Pedagogik Kritis Paulo Freire"



Bagaimana Orang Berbahagia?

Dalam tataran teoritis, dalam tataran konsep, sebetulnya mudah saja bila kita ingin berbahagia. Hal paling dasar dan utama adalah bersahabat dengan diri sendiri. Selama kita sanggup (mau dan mampu) bersahabat dengan diri sendiri, maka kita tidak akan ada yang bisa menghalangi kebahagiaan di dalam diri kita. Setiap saat, disembarang tempat, kita akan terus berbahagia, walau pada saat itu dan di tempat itu, kita sedang mengalami peristiwa yang secara nyata membuat kita tidak nyaman atau bahkan sangat menyulitkan.
Seperti dinyatakan Viktor Frankl, psikiater yang pernah menjadi salah satu korban kasus holocaust dan hidup dalam siksa penjara yang sangat tidak manusiawi, “kami yang hidup di kamp konsentrasi dapat mengingat ketika orang-orang yang berjalan melalui gubuk-gubuk  untuk menghibur oorang-orang lain, mengorbankan potongan roti mereka yang terakhir. Jumlah mereka mungkin sedikit, tetapi itu sudah cukup bukti bahwa segalasesuatu dapat direnggut dari manusia kecuali satu hal, kebebasan terakhir manusia; kebebasan untuk memilih sikapnya sendiri dalam keadaan apa pun, kebebasan untuk memilih caranya sendiri.”
Jadi, sesungguhnya untuk merasa bahagia, karena segala sesuatunya ada dalam diri sendiri dan hanya melibatkan diri sendiri. Masalahnya bagaimana kita bisa bersahabat dengan diri sendiri? Ya, itu memang itu massalah besar di dalam kebahagiaan. Masih terlalu banyak orang yang justru erasa lebih mudah bersahabat dengan orang lain, daripada bersahabat dengan diri seendiri. Jauh lebih mudah menerima keberadaan orang lain sebagaimana adanya dia, daripada menerima keseluruhan diri  dan pribadi sendiri, sebagaimana adanya sang diri. Banyak orang yang dengan lapang dada berteman dengan orang cacat, tapi ketika dirinya mengalami kecacatan, seringkali ia justru berlaku kejam terhadap dirinya yang cacat itu.
Secara umum, yang di perlukan untuk  dapat bersahabat dengan diri seendiri adalah membangun nilai positif terhadapa keseluruhan diri dan pribadi, sebagaimana adanya sang diri. Namun, melakukan hal itu pun menjadi teramat sulit karena juga massih banyak orang yang seelalu membandingkan dirinya dengan orang lain. Lebih gawat, bahkan menjadi diri dan pribadi orang lain sebagai ukuran atau acuan ideal. Akhirnya, ia terus berupaya untuk mencapai gambaran idea yang ssesungguhnya tidak realistis itu. Di sebut tidak realistis, karena sejatinya kita tidak akan pernah bisa menjadi sama dan serupa dengan orang lain. Kita sebagai manusia, bahkan sebagian dari alam semesta, memiliki hakikat keunikan. Artinya, kita memang berbeda dan keinginan menjadi sama tidaklah realistis.
Melalui tulisan ini, saya bermaksud mengajak anda sekalian, untuk mulai belajar bahwa hidup yang kita jalani saat ini adalah hidup yang paling sempurna yang bisa kita dapatkan. Hidup iini yang akan membawa kita menuju kebahagiaan kekal abadi, dalam diri sendiri. Oleh karenanya, marilah kita memperlakukan hidup yang di jlani saat ini, sebagaimana mestinya, sebagaimana adanya. Bila kita berhasil melakukannya, niscaya bahagia akan selalu bersemayam di hati. Bila itu terjadi, maka tidak ada lagi yang kita perlukan, tidak ada lagi kesengsaraan, tidak ada lagi kekhawatiran, dan juga tidak ada lagi kematian. Ya, tidak aka nada kematian ketika hidup dalam kebahagiaan, karena hidup atau mati hanyalah persoalan persepsi. Selama kita dapat memberikan penilaian positif terhadap apa yang terjadi dalam kehidupan yang kita jalani, maka hidup atau mati hanyalah perkara yang samadan karenanya tidak perlu dipermasalahkan.
Untuk itu secara praktis, yang perlu kita lakukan adalah membangun energi positif dalam diri, agar semua yang dihasilkan diri kita, akan mengandung energi positif sehingga hasilnya juga dapat diharapkan memiliki nilai-nilai yang positif, bagi keseluruhan hidup kita. Maka dari itu kita perlu:
1.    Belajar puas terhadap apa yang kita miliki saat ini dan ditempat ini, karena semua yang kita miliki saat ini dan di tempat ini adalah keseluruhan hidup kita. Bila kita tidak menginginkan hal itu, maka itu berarti kita juga tidak menginginkan  kehidupan yang kita jalani saat ini.
2.   Belajar konsekuen terhadap apa yang kita pilih, karena apapun akibatnya, itulah milik kita. Bila tidak sanggup (mau dan mampu) konsekuen, maka itu berarti kehidupan yang saat ini kita jalani bukanlah milik kita. Seperti yang telah dijelaskan, walau kita tidak melakukan apa-apa, pada akhirnya akan ada energi dari luar diri kita yang mendorong atau memengaruhi hidup kita. Bila itu yang terjadi, maka kita juga tidak akan punya kendali atas diri kita. Akhirnya, kita akan sulit berbahagia karena apa yang kita alami berada di luar diri kita dan kita tidak punya kendali atasnya.
Mari kita bersahabat dengan diri sendiri. Mari kita membangun kendali atas diri sendiri. Mari kita belajar menikmati kehidupan yang kita jalani saat ini. Mari, kita bangun kebahagiaan sejati di dalam diri. Mari, bersama diri sendiri, kita bahu-membahu menuntaskan tanggungjawab di dalam ruang hidup masing-masing.


Selamat berbahagia…….

Siapa Yang Terlibat Dalam Kebahagiaan?

Bahagia tidak melibatkan pihak lain, bahagia hanyalah antara kita dan diri kita sendiri. Karena, pada tingkatan berpikir anak-anak maupun tingkatan berpikir dewasa, kebahagiaan itu akan kita dapatkan selama kita menilai bahwa apa yang sedang terjadi sudah sesuai dengan keinginan kita. Kalaupun ada kehadiran pihak lain pada saat itu, persoalannya hanyalah tentang bagaimana hal itu dinilai oleh masing-masing pihak. Bila semua pihak menilai bahwa apa yang sedang terjadi telah sesuai dengan apa yang dinginkan, maka relasi diantara mereka akan terjaliin dan karenanya mereka akan mendapatkan kenyamanan. Dampaknya mereka masing-masing akan bahagia.
Berarti bila bahagia hanya melibatkan diri sendiri, kita boleh melakukan apapun yang kita inginkan sekehendak hati kita masing-masing? Lalu, bagaiimana bila perilaku kia itu membuat pihak lain jadi tidak nyaman? Bukankah kita selalu akan berurusan dengan pihak lalin, walau sejatinya hal itu cuma media yang kita gunakan untuk bercermin? Kalau demikian, bukankah untuk memperoleh bahagia, berarti kita perlu memerhatikan dampak perilaku kita bagi pihak lain juga?
Itu sebabnya pada postingan sebelumnya tentang “Bagaimana Orang Berperilaku”, telah dipaparkan bahwa memang ada perbedaan antara pola berpikir anak-anak dengan pola berpikir orang dewasa, dimana pola berpikir anak-anak tidak bisa digunakan dalam kehidupan orang dewasa. Jadi, semakin kita beranjak dewasa dalam perjalanan hidup kita, maka kita juga perlu berupaya agar pola berpikir yang kita punya dapat berkembang menjadi lebih dewasa.  Kalau itu tidak terjadi, maka kita akan sulit menyesuaikan diri dengan kehidupan sebagai orang dewasa. Akibatnya, pada suatu saat hal itu juga akan memengaruhi peluang kita untuk menjadi bahagia, karena kita hanya akan bahagia ketika semua yang kita hadapai saat itu, bisa sesuai denagn keiinginan kita. Ssementara, pada saat bersamaan kita selalu akan berhadapan dengan kepentiingan pihak lain yang sangat mungkin berbeda atau bahkan  jadi bertentangan dengan keinginan atau kepentingan kita.
Untuk itu kita perlu memerhatikan bagaimana orang berproses menuju pola berpikir dewasa, yang secara khusus berkait dengan bagaimana orang bisa berbahagia, dengan dirinya sendiri. Ya, dengan diri sendiri , kareana keterlibatan pihak lain selalu bergantung pada bagaimana penilaian personal kita terhadap keberadaan pihak lain tersebut. Karena pokok masalahnya ada pada konsep keadilan, maka untuk menjadi dewasa, orang perlu mengembangkan kemampuan diri untuk menilai keadilan dalam artian yang berbeda dari apa yang digunakan anak-anak.
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa bahagia hanya melibatkan diri sendiri, bergantung bagaimana penilaian personal kita terhadap apa yang terjaddi  dalam hidup keseharian kita. Jadi, tidak ada siapa-siapa selain diri kita sendiri. Oleh karena itu, kita juga perlu menyadari bahwa kita pun tidak memiliki keterlibatan di dalam hidup orang lain. Jadi, tidaklah benar bila kita mencampuri kehidupan orang lain sekehendak kita. Selainn itu akan mengganggu kenyamanan orang lain, seseungguhnya hal itu hanya menceerminkan betapa hidup kita masih tidak menyenangkan. Berarti, sebetulnya, kita sendiri yang perlu melakukan upaya untuk bisa mendapatkan kebahagiaan di dalam diri kita, bukannya sibuk mencampuri hidup dan kebahagiaan orang lain. 

Dimana Orang Berbahagia?

Bicara tentang bahagia berarti juga berbicara tentang kenyamanan. Bicara tentang kenyamanan berarti juga bicara tentang persepsi (penilaian personal), tentang semua yang dialami atau dihadapi. Bicara tentang persepsi berarti bicara tenang diri sendiri, Karena persepsi terjadi di dalam diri. Maka dari itu, bicara tentang bahagia berarti bicara tentang diri seendiri. Lebih tepatnya, bicara tentang kepentingan diri sendiri. Dengan demikian, berarti bahagia selalu ada di dalam diri sendiri, bukan di luar diri kita.
Itu masalahnya. Menurut pemikiran Toge Apriliyanto seorang psikolog, yang mengatakan bahwa banyak orang mencari bahagia di luar diri, bukan di dalam diri. Akibatnya, ia tidak pernah mendapatkan kebahagiaan, karena memang bahagia tidak ada di luar diri. Beliau memaparkan kisahnya sebagai Contoh: aku pada masa kelam dulu juga pernah berpendapat seperti itu. Aku merasa bahwa aku akan bahagia bila aku dapat hidup dalam kehidupan yang berbeda dari yang aku alami atau hadapi pada saat itu. Tetapi, kebanyakan orang terikat pada uang atau hal-hal yang bersifat material, aku cenderung lebih terikat pada hal-hal immaterial. Kalau kebanyakan orang merasa akan bahagia bila punya uang banyak dan/atau barang-barang tertentu, aku merasa akan berbahagia bila aku bisa berbuat sekehendak hati. Oleh karenanya, pada masa itu aku selalu berupaya melakukan segala sesuatunya dengan cara yang tidak umum, bahkan bertentangan dengan cara-cara umum dilakukan orang. Tujuannya hanya supaya aku puas Karena bisa melakukannya sekehendak hatiku. Termasuk di dalamnya kebebasan untuk menentukan: mau melakukan hal itu atau tidak. Kalau tidak mau, segala upaya yang dikerahkan hanya untuk memenangkan kendali agar aku bisa menghindari hal itu dengan risiko yang minimal.
Ya, semuanya memang hanya soal titik keseimbangan dan persepsi. Makanya pada postingan sebelumnya disebutkan bahwa semua orang akan berbahagia, pada saatnya. Untuk itu, yang sebenarnya kita perlukan agar kita bissa berbahagia, hanyalah merassakan dan menikmati bahagia yang kita miliki, saat ini, di tempat ini.
Persoalannya, merasa bahagia itu memerlukan kesadaran positif dari diri sendiri, maka walau yang perlu kita lakukan hanyalah merasakan dan menikmati rasa itu, bagi kebanyakan orang hal itu juga bukanlah perkara mudah. Kenyataan ini sangat bisa dimengerti, mengingat kesadaran memang jauh lebih mudah digambarkan daripada dijelaskan. William James yang merupakan satu diantara tokoh perintis perkembangan psikologi, mengatakan bahwa kesadaran itu seperti darah, terus bergerak dan mengangkut segala yang masuk ke dalamnya, tak peduli apakah ia mengangkut hal baik atau buruk. Demikian halnya dengan kesadaran orang. Semua peristiwa yang dialami atau dihadapi, disimpan di dalam ingatan tak peduli itu peristiwa menyenangan maupun peristiwa tidak menyenangkan. Lalu, dikemudian hari, ingatan itu pulalah yang digunakan sebagai panduan atau pedoman untuk memilih, menilai dan menerjemahkan informasi berbentuk sensasi yang di terima otak. Akibatnya, kalau yang cocok adalah peristiwa yang tidak menyenangkan, maka penilaian personal yang dihasilkan sangat mungkin akan jadi tidak menyenangkan juga. Akhirnya, keputusan yang dibuat akan bersandar pada penilaian yang tidak menyenangkan itu sehingga pada saat itu, di tempat ini kita jadi tidak bahagia.
Selanjutnya agar kita mampu membangun kesadaran positif, dengan harapan kita akan lebih dapat mengarahkan penilaian personal jadi lebih positif juga, mak yang perluu kita perhatikan adalah apa yang terjadi dalam perjalanan hidup lima tehun pertama. Freud adalah tokoh penting yang memiliki pendapat bahwa pada masa lima tahun pertama dalam kehidupan tiap orang adalah masa paling penting berkait optimalisasi perkembangan kepribadian. Walau banyak kritik tentang teori psikoseksualnya, pemahaman bahwa masa lima tahun pertama dalam kehidupan adalah masa penting bagi tiap orang, juga disepakati oleh banyak ilmuwan di bidang psikologi, setelah masa Freud. William Glasser juga menyatakan masa lima tahun pertama adalah saat diimana orang mulai membangun gambaran dunia idealnya. Semua peristiwa yang dinilainya menyenagkan akan disimpan untuk digunakan sebagai kriteria bahagia, atau minimal kriteria nyaman. Erik Erikson juga menyatakan bahwa di masa lima tahun pertama, orang memiliki tugas pertama untuk membangun rasa aman dan konsep diri yang positif. Oleh karenanya, kegagalan dalam masa itu akan berpengaruh terhadap penilaian ia tentang diri dan dunia di luar dirinya. Alice Miller mengatakan bahwa tahun-tahun pertama kehidupan adalah massa dimana orang mulai membangun nilai-nilai kedekatan emosi dengan dirinya melalui cerminan perilkau orang lain dan perlakuan orang lain terhadap dirinya.
Sekarang, sudah jelas bahwa bahagia adalah kondisi di dalam diri, yang seharusnya dapat kita atur sekehendak hati, karena bergantung pada penilaian personal kita masing-masing. Maka dari irtu, ayo kita mulai belajar memahami bagaimana cara-cara yang biasa kita gunakan untuk membangun suatu persepsi terhadap dunia di dalam dan juga dunia di luar diri. Caranya, dengan mencoba memahami apa yang terjadi pada masa limma tahun pertama kehidupan kita. Harapannya, dengan memahami hal itu, kita dapat mmembangun kesadaran yang lebih positif, mengingat saat ini kita sudah berada pada tingkat kematangan yang berbeda dibandingkan beberapa waktu yang lalu. Artinya, dengan tingkat kematangan yang lebih baik Karena lebih benyak pengalaman dan wawasan tentang kehidupan, kita menjadi lebih dapat memetakkan kondisi pribadi kitasaat ini, untuk kemudian menentukan langkah selanjutnya. Apakah akan tetap seperti yang lama ini kita jalani? Apakah akan melakukan sesuatu supaya kondisi kita selama ini bisa disesuaikan dengan kehidupan yang seeding kita hadapi? Apakah kita perlu melakukan sesuatu guna mempersiapkan diri menghadapi kehidupan di masa mendatang semuanya bergantung pada keputusan kita masing-massing. Semuanya bergantung pada bagaimana persepsi kita terhadap diri dan hidup kita masing-masing.

Kapan Orang Berbahagia?

Bila perilaku terjadi saat perubahan atau pergeseran titik keseimbangan yang menimbulkan rasa tidak nyaman, dan relasi terjadi saat kedekatan diantara pihak-pihak yang terlibat dan saling memengaruhi secara timbal ballik, maka orang akan berbahagia ketika titik keseimbangannya tercapai dan relasi terjalin secara berkelanjutan dalam artian yang positif.
Seperti yang telah dituangkan dalam paparan mengenai “Apa Kaitan Antara Perilaku dan Relasi, dengan Bahagia”, bahwa bahagia selalu terjadi dalam status “di sini dan sekarang”, maka jelaslah bahwa itu akan terjadi setiap saat. Kondisi ini menjadi masuk akal kearena secara prinsip, alam semesta ita ini memang bersifat dinamis, terus bergerak dan berubah. Oleh karenanya, manusia sebagai bagian dari alam semesta, pada hakikatnya juga bersifat dinamis dan terus berubah. dengan demikian, kriteria orang tentang bahagia juga akan bersifat dinamis dan terus berubah, sesuai kondisi dan situasi yang dihadapinya saat itu, di tempat itu.
Kemudian, kareana sudah kita ketahui juga bahwa relasi terjadi dengan cara mengelola persepsi diri, dan relasi selalu merupakan cerminan kebutuhan yang kita tangkap melalui apa yang ditampilkan pihak lain, maka kita juga bisa memahami bahwa kebahagiaan sesungguhnya juga bergantung pada apa yang ada di dalam diri kita. Lebih tepatnya, bergantung pada persepsi yang kita bangun di dalam pikiran kita, berdasarkan proses pencocokan antara informasi dalam bentuk sensasi dengan data di dalam ingatan kita.
Dari dua bagian pemahaman itu, kita bisa menyimpulkan bahwa untuk menjadi bahagia, yang kita perlukan adalah penilaian positif terhadap apa yang sedang terjadi dan/atau yang kita alami. Seperti yang dikatakan William Glasser, kita hanya bisa mengendalikan situasi saat ini. Situasi masa lalu hanya bisa kita gunakan sebagai referensi atau bahan acuan atau pertimbangan, tapi kita tidak bisa melakukan apapun untuk mengubah apa yang sudah terjadi. Demikian sebaliknya, masa depan hanya dapat kita gunakan sebagai panduan atau pedoman dalam menentukan langkah, tapi kita tidak bisa menjamin bahwa masa depan akan terjadi seperti yang kita inginkan. Jadi, yang bisa kita lakukan pada saat itu adalah menentukan pilihan: apakah kita bisa berhenti dan hidup bersama ingatan masa lalu, apakah kita akan bermimpi dan hidup bersama impian masa depan, apakah kita akan bertindak dan hidup di dalam kenyataan saat ini, di tempat ini. Demi mencapai bahagia, maka yang perlu dilakukan adalah memiliki alternatif pilihan akhir, yaitu “bertindak dan hidup di adlam kenyataan saat ini dan di tempat ini”.
Dengan memusatkan perhatian dengan apa yang terjadi disini dan sekarang, dengan sendirinya secara otomatis berarti kita telah mengarahkan energi untuk mengupayakan sumber daya yang kita miliki, agar dapat menghadapi situasi yang kita alami. Hal inilah yang membedakan apakah seseorang akan memiliki kesehatan mental ataukah akan mengalami penyakit mental. Secara nyata, dengan contoh sebagai berikut: banyak orang bilang kecanduan itu penyakit masyarakat, tapi tidak banyak orang yang memahami mengapa kecanduan disebut sebagai penyakit masyarakat. Dengan memahami konsep bahagia, kita bisa mengerti bahwa pada dasarnya setiap manusia berpotensi menjadi pecandu, Karena sejak dilahirkan hingga meninggal, perilaku kita selalluu ditujukan utnuk mendapatkan kebahagiaan. Artinya, kita akan melakkukan apapun agar dapat mencapai kondisi bahagia. Jadi, kecanduan itu manusiawi, makanya wajar kalau ada manusia yang terlibat di dalam kecanduan, Karena ia menilai bahwa di hal itu dapat membantunya mencapai bahagia yang selama ini dicari-cari. Oleh karenanya, billa kita ingin orang itu lepas dari perilakku mencandu, yang perlu kita lakukan adalah membantu orang itu untuk menyadari bahwa ada carra lain yang lebih aman (tidak melukai diri) untuk mencapai kondisi bahagia yang dicarinya, saat itu, di tempat itu.
Jadi, untuk merasakan bahagia setiap saat, yang perlu dilakukan adalah belajar menerjemahkan apa yang kita alami atau hadapi, menggunakan ingatan-ingatan yang positif. Itu berarti kita perlu terus menambah koleksi ingatan positif. Semakin banyak ingatan positif yang kita milliki akan semakin besar peluang terjadinya asosiassi positif. Dampaknya persepsi menjadi positif dan bayangan yang terpantul dari orang lain juga akan menggambarkan kebutuhan yang positif. Jadi, relasi juga positif.

Mengapa Orang Berbahagia?

Pertanyaan ini agak membingungkan, tapi memang pertanyaan itulah yang perlu di ajukan pada diri kita masing-massing: mengapa kita berbahagia? Kebanyakan orang mungkinn akan mengajukan pertanyaan “mengapa orang perlu berbahagia”, tapi saya pikir bahwa pertanyaan yang lebihh tepat adalah “mengapa orang berbahagia”. Pertimbangannya, karena kalau ditanya “mengapa orang berbahagia”, maka akan muncul persepsi bahwa secara umum orang enggan berbahagia. Soalnya, makna yang terkandung di dalam pertanyaan ini memuat kelompok orang yang berharap semua orang mau berbahagia, dan kelompok orang yang diniai enggan atau tidak paham dengan bahagia. Sementara, di dalamm pertanyaan “mengapa orang berbahagia”, mengandung makan bahwa secara prinsip orang akan berbahagia. Masalahnya, belum dipahami apa yang membuat orang berbahagia, dan hal itulah yang akan dibahas pada postingan kali ini.
Di dalam pertanyaan tentang bahagia ini, jawaban yang pertama adalah karena secara alamiah segala sesuatu di alam semesta akan mencapai titik keseimbangan, walau diakibatkan atau didorong oleh sesuatu di luar dirinya. Jadi, pada akhirnya orang akan selalu memperoleh kebahagiaan. Walau orang tidak menampilkan upaya apapun untuk mencapai atau pun untuk menghindari tercapainya kebahagiaan itu, ia tetap saja akan mencapai titik keseimbangan alamiah yang secara sederhana kita pahami sebagai kebahagiaan. Dalam pandangan spiritual atau agama, pemahaman inni dimaknai dengan peristiwa ketian atau hidup ilahi, dimana titik keseimbangan yang dimaksud adalah ketika raga kembali bersatu dengan alam (tanah).
Jawaban kedua, berkait dengan apa yang diharapkan tercapai atau terjadi, orang berbahagia karena dengan kemampuan berpikirnya, orang memiliki pengetahuan tentang gambaran kondisi nyaman yang diinginkan atau diharapkannya, sehingga orang akan berupaya mencapai kondisi nyaman itu. Jadi, orang berbahagia juga karena itu adalah bagian dari keinginanannya. Hal ini menjelaskan kenapa orang terus berupaya untuk membuat hidupnya lebih enak  dan/atau lebih mudah, sehingga pada gilirannya orang terus berupaya mengembangkan tekhnologi yang diharapkan dapat membantu dan/atau mempermudah aktivitas hidup yang dilakukan dan/atau dihadapi. Dalam pandangan yang bersifat spiritual atau agama, pemahaman ini dimaknai dengan ajaran tentang pahala-dosa, dimana titik keseimbangan yang dimaksud adalah ketika orang berhasil menghindari goadaan dosa supaya mendapatkan pahala.
Berdasarkan pemaparan diatas dapat kita pahami bahwa mengapa orang berbahagia? Yaitu karena secara alamiah segala sesuatu di alam semesta akan mencapai titik keseimbangan yang kita pahami sebagai kebahagiaan. Selain itu, orang berbahagia karena itu adalah bagian dari keinginannya.

Apa Kaitan Perilaku Dan Relasi Dengan Bahagia?

Menurut pemikiran Toge Apriliyanto seorang psikolog, yang menyatakan bahwa biasanya jika orang berbicara tentang bahagia, maka yang digunakan sebagai alas berpikirnya adalah konsep-konsep spiritual atau agama. Nah, dalam tulisan ini kita akan berbicara tentang perkara bahagia menggunakan alas berpikir yang beliau kenal dan beliau pahami yaitu psikologi. Lebih tepatnya, beliau akan berbicara tentang perkara bahagia dalam kaitannya dengan perilaku dan relasi. Itu sebabnya pada postingan-postingan sebelumnya saya mengupas seluk-beluk  tentang relasi dan perilaku, sebelum berbicara tentang bahagia.
Berdasarkan pemahamannya., beliau menerjemahkan bahagia secara sederhana dalam suatu definisi sebagai berikut:
“bahagia adalah kondisi internal yang sangat menyenangkan sehingga membuat kita merasa sangat nyaman karena semua hal yang kita alami dan hadapi pada saat itu, ditempat itu, sangat sesuai dengan apa yang kita inginkan”.
Dengan demikian, bahagia memang sangat bersifat subjektif. Lebih dari itu, tidak hanya subjektif, bahagia juga bersifat sangat fluktuatif (berubah-ubah). Hal ini dikarenakan keinginan kita jelas bersifat subjektif-fluktuatif, tergantung persepsi yang terbangun di dalam diri kita pada kondisi dan situasi saat itu, di tempat itu.
Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa peerilaku memerlukan kesepakatan mufakat dari keempat komponen utamanya. Kita juga telah mengetahui bahwa relasi memerlukan transaksi positif supaya dapat terjadi. Selain itu, perilaku dan relasi juga kita ketahui selalu ditujukan untuk mendapatkan (kembali) rasa nyaman , agar kita bisa menacapai titik keseimbangan. Atas dasar pengetahuan itulah kita dapat memahami apa yang dimaksud denan bahagia. Bahagia disebut sebagai kondisi internal yang sangat menyenangkan dan nyaman; berearti merujuk pada kenyataan bahwa titik keseimbangan telah dicapai. Bahagia disebut sebagai kondisi dimana semua yang dihadapi sesuai dengan apa yang diinginkan; berarti merujuk pada kenyataan bahwa transaksi positif  berhasil dicapai sehingga relasi dapat terjalin. Bahagia disebut sebagai kondisi dimana semua kesesuaian terjadi saat itu, di tempat itu, berarti merujuk pada kenyataan bahwa telah tercapai kesepakatan yang mufakat.
Jadi, walau bahagia dimaknai dengan beragam cara dan alas berpikir yang sangat subjektif, bahagia dapat dibicarakan dalam kesetaraan, karena dengan memakai konsep perilaku dan relasi, kita tidak lagi terbatasi oleh tata aturan normative-direktif yang mengikat,, bahkan membatasi ruang gerak kita seebagai manusia yang unik, baik dan dinamis. Dengan pemahaman itu, kita bisa mengetahui bahwa konep bahagia tidak perrlu diperdebatkan apalagi dipertikaikan. Karena kita tahu bahwa setiap orang memilihh perilaku yang akan ditamlplilkan sesuai denan kebutuhan yang melatarbelakanginya pada saat itu, di tempat itu, maka kita selayaknya memahami juga bahwa orang lain memilliki gambaran bahagia sendiri-sendiri, bergantung pada hal apa yang melatarbelakangi gambaran bahagia tersebut. Karena kita tahu bahwa setiap orang  melibatkan pihak lain dalam jalinan relasi agar dapat bercermin dan mengetahui apa yang kita butuhkan, serta apa yang perlu dilakukan guna memenuhi kebutuhan itu, maka kiat selayaknyamemahami juga bahwa orang lain punya kebutuhan akan kebahagiannya sendiri-sendiri, yang terpantul dari aktivitas relasi yang terjalin diantara dirinya denan pihak lain.
Akhirnya, karena kita mengetahui bahwa perilaku dan relasi selalu akan terjadi dalam status “disini dan sekarang”, kita juga selayaknya memahami bahwa bahagia selalu akan berubah sesuai kondisi “di sini dan sekarang itu”. Jadi, tidak ada bahagia abadi dan tidak derita abadi karena keduanya selalu terjadi secara bersamaan dalam status “di sini dan sekarang”. Ada saat yang sama, di tempat yang sama, kita akan merasa bahagia sekaligus akan merasa ada hal yang juga tidak menyenagkan, tergantung bagaimana kita mengelola persepsi kita saat itu. Contoh: aku mangkel karena urusan pada hari ini tidak berjalan selancar yang aku inginkan, tetapi pada saat yang sama aku juga merasa bahagia karean hari inni aku jadi punya waktu luang dan berkesempatan mengerjakan pekerjaan lain sehingga aku bisa melampaui target kerja yang sudah aku tetapkan, berkait pekerjaan tersebut.

Bagaimana Orang Menjalin Relasi?

Kita sudah tahu bahwa perilaku dilakukan dengan cara memilih alternative yang kita miliki saat itu, di tempat itu. kita juga sudah tahu bahwa relasi selalu berkaitan dengan asosiasi yang berlangsung dalam diri kita. Dengan demikian, secara umum bisa disimpulkan bahwa relasi yang terbangun merupakan hasil kesepakatan yang mufakat diantara komponen perilaku yang ada di dalam diri masing-masing pihak yang terlibat, berdasarkan informasi yang telah disampaikan pihak lalin. Itu artinya, orang menjaliin relasi dengan caara mencocokan informasi yang diterima dari pihak lain dengan informasi yang ada di dalam dirinya. Bila ada kecocokan antara informasi yang ia terima dengan informasi yang dimiliki sebelumya, ia akan setuju menjalin relasi, tetapi bila ia tidak menemukan kecocokan antara informasi yang diterima dengan informasi yang dimiliki sebelumnya, maka ia tidak akan menjalin relasi dengan pihak yang bersangkutan.
Pemahaman bahwa relasi terkait denan proses menemukan adanya kecocokan di antara informasi yang diterima dengan informasi yang dimiliki sebelumnya, menunjukan bahwa faktor pokok yang sesungguhnya menentukan relasi akan bisa terjalin atau tidak, adalah persepsi (penilaian personal masing-masing pihak terhadap apa yang saat itu sedang dihadapinya. Seperti dinyatakan oleh Robin Kowalski dan Drew Westen, persepsi adalah proses terkait upaya otak untuk memilih, menata, dan menerjemahkan pesan yang diterimanya dalam bentuk sensasi (yaitu, proses yang terjadi saat panca indra mengumpulkan informasi tentang lingkungan dan mengirimkan informasi itu ke otak untuk ditindak lanjuti menjadi persepsi).
Secara sederhana, berarti dapat kita pahami bahwa cara orang menjalin relasi adalah menggunakan penilaian personal yang disebut persepsi, untuk memilih hal-hal yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan kita ppada saat itu, di tempat itu. dalam hal ini jelas bahwa bila kita ingn memahami seluk-beluk relasi yang terjadi di dalam kehidupan kita, maka kita perlu memahami seluk-beluk persepsi yang terjadi dalam diri kita. Selain karena persepsi merupakan panduan utama yang akan membantu kita membuat keputusan (rasioonal maupun emosional), persepsi juga menentukan seberapa baik kualitas asosiasi yang kita lakuukan. Pada gilirannya, hal itu akan membantu kita mengukur atau menilai apakah yang kita pilih untuk kita lakukan pada saat itu, di tempat itu, sungguh bisa di pertanggung jawabkan. Hal ini penting untuk diperhatikan karena pilihan yang tidak dapat di pertanggung jawabkan hanya akan membuat kita terjerembap ke dalam permasalahan baru. Akibatnya, niatan untuk mencari rasa nyaman hanya akan membuahkan rasa tidak nyaman dalam bentuk yang lain.
  Untuk itu, kemampuan membangun persepsi secara tepat merupakan kemampuan yang vital dalam konteks relasi. Kemampuan tersebut dapat kita pelajari denan membangun kebiasaan memilih. Hal ini bisa dilakukan secara bertahap, sejak bayi. Berikut ini adalah tahapannya:
1.      Memilih satu diantara beberapa pilihan positif
2.      Memilih satu diantara pilihan positif dan pilihan negative
3.      Memilih satu diantara pilihan yang negative
4.      Memilih berdasarkan prasyarat
5.      Memilih berdasarkan transaksi
6.      Memilih berdasarkan perlawanan

Siapa Yang Terlibat Dalam Relasi?

Jika dalam postingan sebelumnya disebutkan bahwa relasi selalu terjadi di alam personal, berarti jelas bahwa yang terlibat dalam setiap relasi adalah hanya diri sendiri. Apakah betul begitu? Bila ya, bagaimana dengan kehadiran pihak lain? Bukankah adakalnya dalam relasi ada kehadiran pihak lain? Bila kita bicara tentang perilaku di alam personal, memang tidak ada keterlibatan pihak lain, karena yang ada dalam alam personal hanyalah komponen-komponen perilaku kita seendiri yang saling berinteraksi. Akan tetapi, terkait dengan perilaku kita di alam sosial, selalu ada keterlibatan atau minimal sekadar kehadiran pihak lain. Dengan demikian, walau sudah disebut bahwa relasi masing-masing pihak, secara nyata hal itu tidak dapat mengabaikan adanya kehadiran pihak lain. Jadi, artinya dalam relasi juga ada keterlibatan pihak lain, selain diri sendiri.
Walaupun demikian, kehadiran pihak lain itu sesungguhnya mengandung makna refleksi atau cermin. Artinya, secara prinsip ketika relasi terjalin yang terjadi ialah interaksi diantara diri kita dengan bayangan atau refleksi diri kita yang terpantul melalui pihak lain. Hal ini memperjelas paparan tentang prasyarat “transaksi positif” yang perlu ada dalam relasi, dimana hal itu hanya akan terjadi kalau proses berpikir asosiatif yang kita tampilkan menunjukan hasil bahwa memang ada kecocokan diantara apa yang dipantulkan pihak lain melalui perilakunya, dengan apa yang kita butuhkan untuk memperoleh apa yang kita inginkan pada saat itu, di tempat itu.
Menurut Alice Miller dalam bukunya “The Drama of The Gifted Child” dijelaskan bahwa kontak natural alamiah, yang terjadi antara diri kita dan kebutuhan-kebutuhan yang kita miliki, akan memberi kita kekuatan dan harga diri. Pengalaman kita saat bayi, bersama sosok ibu pada masa itu, akan menjadi pedoman apakah kita akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang sehat atau tidak. Perasaan tidak Nyaman yang kita rasakan sesaat kita ketika kita dilahirkan, akan menghasilkan pedoman negative, ketika hal itu ditanggapi oleh sang ibu dengan reaksi negaatif (contoh: menangis, mengeluh sakit, takut, menjaga jarak atau menolak, dan lain-lain). Sebaliknya, kebutuhan untuk memperoleh rasa nyaman yang dirasakan saat itu, akan menghasilkan pedoman positif bila ibu menanggapinya dengan reaksi positif (contoh: tertawa, mengucap syukur, membelai, mencium lembut, dan lain-lain).
Pemahaman tersebut juga didukung oleh pernyataan William Glasser bahwa manusia berperilaku selalu ditunjukan untuk mendapatkan lebih banyak kendali atas hidup dan dunia yang ia tempati. Viktor Frankl juga pernah mengatakan bahwa manusia selalu berupaya melakukan hal-hal yang bermakna bagi dirinya, agar ia merasa berarti dan menjadi nyaman karenanya. Dengan begitu, semakin jelas bahwa sesungguhnya, kalau kita memilih untuk bersepakat dengan pihak lain dan kita memilih untuk menjalin relasi dengan piihak lain, hal itu semata-mata adalah upaya kita untuk dapat memenuhi kebutuhan diri kita demi mendapatkan rasa nyaman yang diidamkan. Jadi, bukan tentang apa yang dimilki dan/atau ditampilkan pihak lain, tetapi selalu tentang apakah ada kecocokan dengan apa yang kita miliki dan/atau butuhkan.
Penjelasan bahwa hanya diri sendiri yang terlibat dalam setiap relasi juga dapat diperoleh dari pemahaman bahwa kebanyakan orang membuat keputusan memakai pola berpikir otomatis (bersifat asosiatif), bukan berpikir terkontrol (bersifat rasional). Jelas bahwa tanggapan yang kita tampilkan atas perilaku yang dipaparkan pihak lain terhadap kita , tidak semata-mata merupakan reaksi atas perilaku yang kita terima atau alami, tetapi lebih rumit dari itu, tanggapan yang kita tampilkan merupakan hasil dari proses yang terjadi dalam diri kita, secara asosiatif berdasarkan apa yang kita butuhakn pada saat itu, di tempat itu. maka, dalam pemahaman tentang realasi, yang penting bukanlah apa yang dilakukan pihak lain terhadap kita, tetapi apa yang terjadi dalam ruang asosiasi kita terkait peristiwa yang kita alami pada saat itu, di tempat itu.

Dimana Orang Menjalin Relasi?

Relasi yang merupakan kumpulan perilaku juga selalu dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, bukan demi orang lain. Jadi, tidak ada kaitannya dengan kehidupan di alam sosial, walau perilaku yang ditampilkan juga memiliki kemungkinan bersinggungan atau berdampak terhadap orang lain. Oleh karenanya, saya akan memaparkan jawaban guna menjawab pertanyaan “dimana orang menjalin relasi?”. Dimana orang menjalin relasi akan terjadi dalam 4 situasi, yaitu:
Dalam situasi dimana kita meminta orang lain melakukan apa yang tidak diinginkannya
Seperti yang dicontohkan oleh Glasser, ketika kita meminta anak kita belajar dan sang anak tidak menginginkannya, maka sebetulnya tidak ada satu hal pun yang bisa kita lakukan dan dapat menjamin secara pasti bahwa cara itu akan berhasil membuat anak melakukan apa yang kita minta. Artinya, kalaupun akhirnya sang anak melakukan apa yang kita minta, sebetulnya bukan anak yang menjadi nyaman, tetapi kita yang menjadinya nyaman.
Dengan demikian, jelas bahwa pada saat kita meminta orang lain untuk melakukan sesuatu yang tidak ia iginkan, tetapi ia melakukannya, sesungguhnya walaupun perilaku terjadi di dalam alam social, realasinya tetap hanya terjadi dalam alam personal. Yaitu: (1) saya dengan diri saya sendiri, demi mendapat kenyamanan karena bisa membuat orang lain bersedia melakukan apa yang saya diminta, (2) ia dengan dirinya sendiri, demmi mendapat kenyamanan diantara pilihan yang membuatnya tidak nyaman.
Dalam situasi dimana kita diminta melakukan apa yang tidak kita inginkan
Serupa dengan persoalan yang pertama, ketika itu terjadi, sesungguhnya kita sedang berada di pihak “orang lain” dalam situasi yang pertama diatas. Jadi, relasi yang terjadi adalah relasi antara aku dan diriku sendiri yang sedang berupaya mendapatkan kenyamanan diantara pilihan yang membuat aku merasa tidak nyaman. Hal ini menjelaskan mengapa dalam situasi dimana semua alternatif yang kita punya, sudah pasti akan membuat kita menjadi tidak nyaman, tetap saja pada akhirnya kita memilih satu diantara alternatif-alternatif yang tidak menyengkan dan membuat kita tidak nyaman itu.
Dalam situasi seperti ini, masalah psikologis akan terjadi bila kita tidak mampu menyadari bahwa sesungguhnya apa yang kita lakukan pada akhirnya, adalah juga hasil pilihan kita. Jadi, perilaku itu sesungguhnya bukanlah sesuaatu yang sifatnya terpaksa, karena kita yang secara sadar memilihnya diantara sekian banyak alternatif yang bisa tersedia atau terungkap, dan mungkin dilakukan.
Dalam situasi dimana kita dan orang lain secara bersamaan, saling meminta pihak lain melakukan  apa yang tidak diinginkan
Situasi ini menjelaskan mengapa ada orang-orang yang pada kenyataannya saling menjauh, padahal masing-masing pihak selalu menyatakan bahwa mereka ingin pihak lain itu menjadi lebih bahagia. Soalnya, masing-masing pihak menilai apa yang mereka minta itu akan memberikan kebaikan bagi pihak lain. Masalahnya, mereka biasanya tidak paham bahwa apa yang baik bagi orang lain hanya bisa dipahami oleh orang yang bersangkutan. Pihak lain, tidak akan pernah bisa memahami konsep “baik” dari sudut pandang orang yang bersangkutan, sejelas pemahaman orang tersebut. Pada saat itulah, bila tidak ada pihak yang menyadari kekeliruannya, maka masalah relasi itu akan berdampak negatif dan akan memicu massalah psikologis.
Dalam situasi dimana kita menginginkan sesuatu yang tidak realistis
Situasi terakhir ini sebenarnya adalah intisari dari ketiga situasi sebelumnya. Situasi inilah yang menjadi penjelasan mengapa realasi hanya terjadi di alam personal dan tidak terjadi di alam sosial, walaupun perilaku terjadi di alam sosial karena mellibatkan orang lain. Sesungguhnya, seperti penjelasan yang disebutkan Glasser, saat satu pihak yang meminta pihak lain melakukan apa yang tidak diinginkan, sesungguhnya itu berarti pihak yang meminta itu sedang terjebak dalam situasi yang tidak realistis.
Dengan demikian, jelasslah bahwa relasi hanya terjadi dalam alam personal, antara seeorang individu denan dirinya sendiri. Relasi tidak melibatkan orang lain walau di dalamnya mengandung perilaku orang lain juga. Soalnya, ketika kita meminta orang lain melakukan apa yang kita lihat, sebetulnya itu berarti kita sedang menyampaikan informasi berupa perilaku meminta. Selanjutnya, orang lain akan menanggapi informasi itu sesuai dengan asosiasi yang dibangun. Bila cocok, kemudian ia akan memberikan yang relevan dan transaksi dapat berbuah kesepakatan sehingga relasi bisa terjadi. Bila tidak cocok, relasi tidak terjadi kareana transaksi tidak berbuah kesepakatan. Dalam pengertian seperti itu, jelaslah bahwa relasi sebetulnyla terjadi di dalam diri massing-masing individu. Semua pihak menyatakan sepakat terhadap pihak lain untuk menjalin relasi dengan dirinya sendiri, demi memperoleh kenyamanan seperti yang diinginkannya, berdasarkan asosiasi yang dibangunnya dengan membandingkan antara perilaku pihak lain dan informassi di dalam ingatannya.