John Dewey berpendapat
bahwa pendidikan moral menjadi hal yang utama bagi misi setiap sekolah.
Pandangan Dewey ini dilatarbelakangi oleh realitas sosial yang semakin kompleks
di satu sisi, dan fungsi serta tujuan pendidkan di sisi lain. Pandangan Dewey
diatas menunjukkan bahwa memang pertama kali dan yang paling utama dalam
pendidikan adalah pendidikan moral. Oleh karena itu, di dalam pendidikan
karakter terdapat aspek utama yang bahkan menjadi unsur utama dari keberadaan
pendidikan karakter yaitu pendidikan moral atau moralitas itu sendiri. Untuk
itu, tidaklah aneh jika kemudian dipahami bahwa pendidikan karakter adalah
pendidikan budi pekerti. J. Drost menjelaskan, “Budii pekerti adalah karakter
akhlak, dan juga nama untuk membentuk karakter itu. Menurut Jrost, pendidikan
budi pekerti tidak diajarkan sebagaimana mata pelajaran lainnya. Oleh karena
itu, budi pekerti bukan bahan pengajaran. Menurut Jrost proses pembelajaran
budi pekerti sepenuhnya merupakan proses interaksi yang baik dan membangun
antara siswa dan gurunya. Proses interaksi dapat diawali dari pengalaman, dan
kemudian diakhiri dengan refleksi. Guru dan siswa bersama-sam melihat,
merasakan atau mengikuti suatu pengalaman tersebut. Itulah proses bentuk
pembelajaran budi pekerti (Drost, 2006:35-37).
Pandangan Jrost diatas
jelas menunjukkan bahwa pendidikan karakter bukanlah suatu mata pelajaran yang
independen. Pendidikan karakter terintegrasi di dalam mata pelajaran lain.
Sementara itu, menurut Paul Suparno SJ dkk, pendidikan karakter sesungguhnya
berbasis pendidikan nilai karena pendidikan nilai meliputi pendidikan budi
pekerti yang didalamnya juga menyinggung pendidikan karakter (suparno,
2006:81). Namun demikian, pendidikan karakter tidak semata-mata dibebankan
hanya kepada pendidikan nilai, karena pendidikan nilai lebih menekankan pada
dimensi pengembangan sisi kognitif atas nilai sementara pendidikan karakter
lebih diarahkan pada pengembangan sisi afektif dan motorik atas nilai. Moral
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Moral sebagai ajaran kesusilaan, berarti
segala sesuatu yang berhubungan dengan tuntutan untuk melakukan perbuatan
perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan jelek yang bertentangan dengan
ketentuan yang berlaku dalam suatu masyarakat.
b. Moral sebagai aturan, berarti ketentuan
yang digunakan oleh masyarakat untuk menilai perbuatan seseorang apakah
termasuk baik atau sebaliknya buruk.
c. Moral sebagai gejala kejiwaan yang timbul
dalam bentuk perbuatan, seperti: berani, jujur, sabar, gairah, dan
sebagainya.
Dalam terminologi Islam, pengertian moral dapat
disamakan dengan pengertian “akhlak” dan dalam bahasa Indonesia moral dan
akhlak maksudnya sama dengan budi pekerti atau kesusilaan (Kamus Besar bahasa
Indonesia, 1994; 192). Kata akhlak berasal dari kata khalaqa
(bahasa Arab) yang berarti perangai, tabi’at dan adat istiadat. al-Ghazali
mendefinisikan akhlak sebagai suatu perangai (watak/tabi’at) yang menetap dalam
jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari
dirinya secara mudah dan ringan tanpa dipikirkan atau direncanakan sebelumnya
(alGhazali, 1994; 31). Pengertian akhlak seperti ini hampir sama dengan yang
dikatakan oleh Ibn Miskawaih. Akhlak menurutnya adalah suatu keadaan jiwa yang
menyebabkan timbulnya perbuatan tanpa melalui pertimbangan dan dipikirkan
secara mendalam (Ibn Miskawaih, 1994: 56). Apabila dari perangai tersebut
timbul perbuatan baik, maka perbuatan demikian disebut akhlak baik. Demikian
sebaliknya, jika perbuatan yang ditimbulkannya perbuatan buruk, maka disebut
akhlak jelek.
2.
Aspek Religiusitas
Pandangan Soedarsono di atas menunjukkan bahwa
pembangunan karakter diri menjadi kunci utama dalam proses pembelajaran
pendidikan karakter. Oleh karena itu, dalam proses pengembangan pendidikan
karakter tidak cukup ditangani oleh sekolah dan materi pembelajaran tertentu.
Di sisi lain, materi-materi pembelajaran yang ada didalam kurikulum pendidikan
karakter di atas juga menjadi bagian dari “ajaran” dan nilai-nilai yang diusung
di dalam agama. Oleh karena itu, salah satu aspek yang tidak dapat dilepaskan
dari muatan konsep, kurikulum, dan pembelajaran pendidikan karakter adalah
aspek keagamaan atau religiusitas, baik dalam wujud, ajaran, prinsip moral,
maupun value yang diusung. Bahkan, agama dapat menjadi sumber yang tidak
akan ada habis-habisnya dalam membangun rumusan, konsep, gagasan, dan bahan
ajar pendidikan karakter. Hal senada dikemukakan oleh Michael Novak. Menurutnya
proses identifikasi tentang karakter tidak dapat dilepaskan dari tradisi
keagamaan, sebagaimana dikutip oleh Lickona (Lickona, 199l: 51). Meskipun
sekadar menunjukkan posisi agama, pandangan Novak di atas menegaskan bahwa
agama tidak dapat dilepas sama sekali dari perbincangan tentang karakter.
Posisi agama dalam pendidikan karakter di samping
menjadi fondasi juga menjadi kontributor bagi rumusan tolak ukur
batasan-batasan good character yang dimaksudkan. Tanpa menempatkan agama
sebagai salah satu aspek dalam menimbang-rumuskan pendidikan karakter akan
menjadikan pendidikan karakter kering dari nuansa-nuansa dinamis di dalamnya.
Namun demikian, mesti juga dipertimbangkan bahwa karakter manusia baik dalam
konteks individu maupun sosial menunjukkan kompleksitas disorientasinya
sehingga muncul manusia-manusia yang tidak berkarakter. Kondisi demikian,
ketika didalami juga tidak lepas dari dimensi pemahaman keagamaan yang mereka
anut. Oleh karena itu, di samping aspekaspek positif eksistensi agama dalam
proses pendidikan karakter, juga perlu ditelaah lebih mendalam persoalan-persoalan
yang muncul dari proses doktrinasi agama dalam pembentukan karakter.
3.
Aspek Psikologi
Aspek lain yang tidak kalah pentingnya dalam melihat
pendidikan karakter adalah aspek psikologi, karakter inheren di dalam dimensi
psikologis manusia. Melihat dan memahami serta memproyeksikan suatu karakter
tanpa melihat dimensi kejiwaan manusia akan muspro karena rancangan bangun karakter manusia ada dan
berfondasi pada dimensi kejiwaan manusia. Dimensi ini dalam pandangan Lickona
sebagai bentuk dari the emotional side of character. Menurutnya, sisi
emosional karakter seperti sisi intelektual yang sangat terbuka untuk
dikembangkan baik di lingkungan sekolah maupun di keluarga.
Lebih lanjut, Lickona menjelaskan aspek-aspek
emosional (baca: psikologis) dalam proses perumusan dan pengembangan pendidikan
karakter adalah sebagai berikut; (1) consciousness atau kesadaran, (2) self-esteem
atau percaya diri, (3) empathy (rasa peduli pada orang lain), (4) loving
the good, mencintai kebaikan, (5) self-control, jaga diri, dan (6) humility,
terbuka.
Berdasarkan paparan di atas, dimensi psikologis yang
dimaksud di sini tidak menitikberatkan pada
aliran psikologi mana yang dimaksud. Dimensi psikologis lebih dimaknai
bahwa pendidikan karakter baik dalam arti rumusan materi pembelajaran maupun rumusan dan praktek pembelajaran yang
dilakukan oleh pendidik tidak lepas dan jangan sampai mengabaikan
prinsipprinsip psikologis yang ada. Jika prinsip-prinsip psikologis diabaikan,
dari sisi konsep dan materi pendidikan karakter akan mengaburkan rumusan pendidikan karakter
itu sendiri. Sedangkan dari sisi proses pembelajaran, jika dimensi dan dan
prinsip psikologis diabaikan akan menghalangi apa yang hendak dicapai dari
proses pembelajaran pendidikan karakter itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar