Senin, 19 Desember 2016

Aspek-aspek Pendidikan Karakter

1.      Aspek Moralitas
John Dewey berpendapat bahwa pendidikan moral menjadi hal yang utama bagi misi setiap sekolah. Pandangan Dewey ini dilatarbelakangi oleh realitas sosial yang semakin kompleks di satu sisi, dan fungsi serta tujuan pendidkan di sisi lain. Pandangan Dewey diatas menunjukkan bahwa memang pertama kali dan yang paling utama dalam pendidikan adalah pendidikan moral. Oleh karena itu, di dalam pendidikan karakter terdapat aspek utama yang bahkan menjadi unsur utama dari keberadaan pendidikan karakter yaitu pendidikan moral atau moralitas itu sendiri. Untuk itu, tidaklah aneh jika kemudian dipahami bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti. J. Drost menjelaskan, “Budii pekerti adalah karakter akhlak, dan juga nama untuk membentuk karakter itu. Menurut Jrost, pendidikan budi pekerti tidak diajarkan sebagaimana mata pelajaran lainnya. Oleh karena itu, budi pekerti bukan bahan pengajaran. Menurut Jrost proses pembelajaran budi pekerti sepenuhnya merupakan proses interaksi yang baik dan membangun antara siswa dan gurunya. Proses interaksi dapat diawali dari pengalaman, dan kemudian diakhiri dengan refleksi. Guru dan siswa bersama-sam melihat, merasakan atau mengikuti suatu pengalaman tersebut. Itulah proses bentuk pembelajaran budi pekerti (Drost, 2006:35-37).
Pandangan Jrost diatas jelas menunjukkan bahwa pendidikan karakter bukanlah suatu mata pelajaran yang independen. Pendidikan karakter terintegrasi di dalam mata pelajaran lain. Sementara itu, menurut Paul Suparno SJ dkk, pendidikan karakter sesungguhnya berbasis pendidikan nilai karena pendidikan nilai meliputi pendidikan budi pekerti yang didalamnya juga menyinggung pendidikan karakter (suparno, 2006:81). Namun demikian, pendidikan karakter tidak semata-mata dibebankan hanya kepada pendidikan nilai, karena pendidikan nilai lebih menekankan pada dimensi pengembangan sisi kognitif atas nilai sementara pendidikan karakter lebih diarahkan pada pengembangan sisi afektif dan motorik atas nilai. Moral dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.   Moral sebagai ajaran kesusilaan, berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan tuntutan untuk  melakukan perbuatan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan jelek yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam suatu masyarakat. 
b.  Moral sebagai aturan, berarti ketentuan yang digunakan oleh masyarakat untuk menilai perbuatan seseorang apakah termasuk baik atau sebaliknya buruk. 
c.   Moral sebagai gejala kejiwaan yang timbul dalam bentuk perbuatan, seperti: berani, jujur, sabar, gairah, dan sebagainya. 
Dalam terminologi Islam, pengertian moral dapat disamakan dengan pengertian “akhlak” dan dalam bahasa Indonesia moral dan akhlak maksudnya sama dengan budi pekerti atau kesusilaan (Kamus Besar bahasa Indonesia, 1994; 192). Kata akhlak berasal dari kata khalaqa (bahasa Arab) yang berarti perangai, tabi’at dan adat istiadat. al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu perangai (watak/tabi’at) yang menetap dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan tanpa dipikirkan atau direncanakan sebelumnya (alGhazali, 1994; 31). Pengertian akhlak seperti ini hampir sama dengan yang dikatakan oleh Ibn Miskawaih. Akhlak menurutnya adalah suatu keadaan jiwa yang menyebabkan timbulnya perbuatan tanpa melalui pertimbangan dan dipikirkan secara mendalam (Ibn Miskawaih, 1994: 56). Apabila dari perangai tersebut timbul perbuatan baik, maka perbuatan demikian disebut akhlak baik. Demikian sebaliknya, jika perbuatan yang ditimbulkannya perbuatan buruk, maka disebut akhlak jelek.
2.      Aspek Religiusitas
Pandangan Soedarsono di atas menunjukkan bahwa pembangunan karakter diri menjadi kunci utama dalam proses pembelajaran pendidikan karakter. Oleh karena itu, dalam proses pengembangan pendidikan karakter tidak cukup ditangani oleh sekolah dan materi pembelajaran tertentu. Di sisi lain, materi-materi pembelajaran yang ada didalam kurikulum pendidikan karakter di atas juga menjadi bagian dari “ajaran” dan nilai-nilai yang diusung di dalam agama. Oleh karena itu, salah satu aspek yang tidak dapat dilepaskan dari muatan konsep, kurikulum, dan pembelajaran pendidikan karakter adalah aspek keagamaan atau religiusitas, baik dalam wujud, ajaran, prinsip moral, maupun value yang diusung. Bahkan, agama dapat menjadi sumber yang tidak akan ada habis-habisnya dalam membangun rumusan, konsep, gagasan, dan bahan ajar pendidikan karakter. Hal senada dikemukakan oleh Michael Novak. Menurutnya proses identifikasi tentang karakter tidak dapat dilepaskan dari tradisi keagamaan, sebagaimana dikutip oleh Lickona (Lickona, 199l: 51). Meskipun sekadar menunjukkan posisi agama, pandangan Novak di atas menegaskan bahwa agama tidak dapat dilepas sama sekali dari perbincangan tentang karakter. 
Posisi agama dalam pendidikan karakter di samping menjadi fondasi juga menjadi kontributor bagi rumusan tolak ukur batasan-batasan good character yang dimaksudkan. Tanpa menempatkan agama sebagai salah satu aspek dalam menimbang-rumuskan pendidikan karakter akan menjadikan pendidikan karakter kering dari nuansa-nuansa dinamis di dalamnya. Namun demikian, mesti juga dipertimbangkan bahwa karakter manusia baik dalam konteks individu maupun sosial menunjukkan kompleksitas disorientasinya sehingga muncul manusia-manusia yang tidak berkarakter. Kondisi demikian, ketika didalami juga tidak lepas dari dimensi pemahaman keagamaan yang mereka anut. Oleh karena itu, di samping aspekaspek positif eksistensi agama dalam proses pendidikan karakter, juga perlu ditelaah lebih mendalam persoalan-persoalan yang muncul dari proses doktrinasi agama dalam pembentukan karakter.  
3.      Aspek Psikologi 
Aspek lain yang tidak kalah pentingnya dalam melihat pendidikan karakter adalah aspek psikologi, karakter inheren di dalam dimensi psikologis manusia. Melihat dan memahami serta memproyeksikan suatu karakter tanpa melihat dimensi kejiwaan manusia akan muspro karena  rancangan bangun karakter manusia ada dan berfondasi pada dimensi kejiwaan manusia. Dimensi ini dalam pandangan Lickona sebagai bentuk dari the emotional side of character. Menurutnya, sisi emosional karakter seperti sisi intelektual yang sangat terbuka untuk dikembangkan baik di lingkungan sekolah maupun di keluarga. 
Lebih lanjut, Lickona menjelaskan aspek-aspek emosional (baca: psikologis) dalam proses perumusan dan pengembangan pendidikan karakter adalah sebagai berikut; (1) consciousness atau kesadaran, (2) self-esteem atau percaya diri, (3) empathy (rasa peduli pada orang lain), (4) loving the good, mencintai kebaikan, (5) self-control, jaga diri, dan (6) humility, terbuka.
Berdasarkan paparan di atas, dimensi psikologis yang dimaksud di sini tidak menitikberatkan pada  aliran psikologi mana yang dimaksud. Dimensi psikologis lebih dimaknai bahwa pendidikan karakter baik dalam arti rumusan materi pembelajaran  maupun rumusan dan praktek pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik tidak lepas dan jangan sampai mengabaikan prinsipprinsip psikologis yang ada. Jika prinsip-prinsip psikologis diabaikan, dari sisi konsep dan materi pendidikan karakter   akan mengaburkan rumusan pendidikan karakter itu sendiri. Sedangkan dari sisi proses pembelajaran, jika dimensi dan dan prinsip psikologis diabaikan akan menghalangi apa yang hendak dicapai dari proses pembelajaran pendidikan karakter itu sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar