Filosofi Macapat
Sebagaimana banyak kebiasaan dan adat jawa yang mengandung
filosofi, maka macapat juga banyak mengandung filosofi kehidupan, yang kalau
kita renungi mengandung nilai yang amat dalam serta sarat akan
khasanah-khasanah kearifan. Di tengah gempuran budaya barat dan timur
yang menggempur kita tak henti-henti, barat yang menawarkan liberalis dan hidup
tanpa aturan serta unggah ungguh, dan budaya timur yang tak menerima perbedaan,
yang selalu mengajak kekerasan untuk menentang perbedaan, ada baiknya kita
kembali ke filosofi budaya sendiri yang amat luhur dan jelas sesuai dengan
kehidupan kita yang beragam, yang mengajarkan kearifan dan kehalusan budi,
tatakrama yang agung, serta keharmonisan di tengah perbedaan.
Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa.
Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap
gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada
bunyi sanjak akhir yang disebut guru lagu. Macapat dengan nama lain juga bisa
ditemukan dalam kebudayaan Bali, Sasak , Madura dan Sunda.
Selain itu juga pernah di temukan di Palembang dan Banjarmasin.
Macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit dan dimulainya pengaruh
Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah.
Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.
Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam tembang macapat
termasuk Serat Wedhatama, Serat Wulangreh,dan Serat Kalatidha.
Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi
tiga kategori: tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhé.Macapat
digolongkan kepada kepada kategori tembang cilik dan juga tembang tengahan,
sementara tembang gedhé berdasarkan kakawin atau puisi tradisional Jawa Kuna.
Pada umumnya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat),
yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan
satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada pula. Arti lainnya ialah bahwa -pat
merujuk kepada jumlah tanda diakritis (sandhangan) dalam aksara Jawa yang
relevan dalam penembangan macapat.
Kemudian menurut Serat Mardawalagu, yang dikarang oleh
Ranggawarsita, macapat merupakan singkatan dari frasa maca-pat-lagu yang
artinya ialah “melagukan nada keempat”. Selain maca-pat-lagu, masih ada lagi
maca-sa-lagu, maca-ro-lagu dan maca-tri-lagu. Sebuah karya sastra macapat
biasanya dibagi menjadi beberapa pupuh, sementara setiap pupuh dibagi menjadi
beberapa pada. Setiap pupuh menggunakan metrum yang sama. Metrum ini biasanya
tergantung kepada watak isi teks yang diceritakan. Jumlah pada per pupuh
berbeda-beda, tergantung terhadap jumlah teks yang digunakan. Sementara setiap
pada dibagi lagi menjadi larik atau gatra. Sementara setiap larik atau gatra
ini dibagi lagi menjadi suku kata atau wanda. Setiap gatra jadi memiliki jumlah
suku kata yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama pula. Aturan
mengenai penggunaan jumlah suku kata ini diberi nama guru wilangan. Sementara
aturan pemakaian vokal akhir setiap larik atau gatra diberi nama guru lagu.
Demikian luhurnya filososfi yang terkandung dalam setiap
tembang Macapat dimulai dari kita berbentuk roh sampai kita berpisah dengan roh
kita, itulah tingkat kehidupan dan pencapaian2 yang ingin digambarkan dalam
setiap tembang macapat. Bahwa kehidupan ini tak ada yang instan, untuk sampai
pada tujuan tertentu selalu ada tahapan atau tingkatan yang dilalui untuk jadi
pribadi yang sempurna. Dan setiap tahapan pasti mengajarkan nilai kehidupan.
Daftar Taruhan Bola Online
BalasHapusUNTUK INFO LEBIH JELAS SILAHKAN HUBUNGI KONTAK DI BAWAH INI :
wechat : bolavita
line : cs_bolavita
WA : +6281377055002
BBM: D8DB1C57
#PialaDunia #BandarPialaDunia #JudiOnlinePialaDunia #TaruhanOnlinePialaDunia