Pemikiran Plato
Plato merupakan filsuf Yunani yang menghasilkan banyak
karya, ada yang berupa karya sendiri mau pun karya yang dibuatkan oleh para
muridnya. Cita-cita Plato dahulunya ingin menjadi seorang politikus, tetapi
dikarenakan kejadian bahwa Socrates mati dihukum minum racun, pupus sudah
cita-citanya. Plato mengurungkan niatnya menjadi seorang politikus dikarenakan
Socrates itulah yang merupakan gurunya selama 8 tahun (Hadiwijono, 38:2005).
Plato dilahirkan di Athena pada tahun 472 SM dan ia pun
merupakan bangsawan. Ia keturunan bangsawan dikarenakan ayahnya yang bernama
Ariston merupakan keturunan raja Athena dan raja Messenia, sedangkan ibunya
juga mendukung kategori kebangsawanan Plato dikarenakan ibunya yang bernama
Perictone memiliki hubungan baik dengan pembuat hukum yang juga seorang
negarawan bernama Solon (Inet, 1b). Plato juga meninggal di kota yang sama
ketika ia dilahirkan yaitu Athena pada tahun 347 SM (Delfgaauw, 19:1992).
Ajaran Plato dapat dikategorikan menjadi tiga besar
yaitu: ajaran tentang ide, ajaran tentang pengenalan, dan ajaran tentang
manusia. Ajaran-ajaran ini didapatkan dari buku-buku yang telah ditulisnya,
serta buku berisi tentang dialog Plato yang disusun oleh orang lain atau bisa
jadi oleh muridnya.
Tentang
Ide dan Pengenalan
Plato sebelumnya telah memberi solusi terhadap persoalan
tentang sesuatu yang berubah dan sesuatu yang tetap. Persoalan ini merupakan
perlawanan pemikiran antara Herakleitos dan Parmenides. Plato memberi solusi
dengan mengemukakan gagasan bahwa ada sesuatu yang tetap dan ada pula yang
berubah. Dari sini Plato sekaligus menyetujui pendapat keduanya serta
menambahkan pendapat Parmenides bahwa sesuatu yang tetap kekal tidak berubah
itu adalah ide atau “idea”.
Menurut Plato ide merupakan sesuatu yang memimpin
pemikiran manusia. Ide bukanlah hasil pemikiran subjektif, melainkan ide itu
objektif. Ide lepas dari subjek yang berpikir. Meski pun tiap orang berbeda
dengan orang yang lain, atau tidak ada orang yang persis sama meski pun ia anak
kembar, tetap saja orang adalah manusia inilah idenya yang tak berubah itu.
Adanya suatu pengamatan dan pengungkapan yang serba bervariasi dan berubah itu
merupakan pengungkapan atas ide yang tidak berubah. Orang bisa mengamati satu
benda yang sama tetapi masing-masing orang punya pendapat lain.
Plato memiliki pandangan lebih tentang hakikat atau
esensi dari segala sesuatu dibandingkan dengan Socrates. Plato meneruskan
pendapat Socrates bahwa hakikat segala sesuatu bukan hanya dapat diketahui
melalui keumuman, melainkan hakikat dari segala sesuatu itu nyata dalam ide.
Solusi pertentangan Herakleitos dan Parmenides, dikemukakan Plato dengan
mengkategorikan dua macam dunia, yaitu dunia yang serba berubah, serba jamak,
dan tiada hal yang sempurna, sifatnya inderawi. Lalu dunia ide, yang merupakan
dunia tanpa perubahan, tanpa kejamakan dalam artian bahwa (yang baik hanya
satu, yang adil hanya satu, dan sebagainya) dan bersifat kekal.
Ide-ide di dunia hadir dalam benda yang kongkrit, semisal
ide manusia ada pada tiap manusia, ide kucing ada pada tiap kucing. Benda-benda
tersebut juga mengambil peran dan berpartisipasi dengan ide-idenya. Misalnya
ada kucing sakti, kucing kampung, kucing peliharaan. Dalam contoh tersebut
terdapat ide kucing, ide sakti, ide kampung, ide peliharaan. Ide tersebut
berfungsi sebagai contoh benda-benda yang kita amati di dunia ini (Hadiwijono,
41:2005).
Telah disinggung, bahwa di dalam dunia idea tiada
kejamakan, dalam arti ini, bahwa “yang baik” hanya satu saja dan seterusnya,
sehingga tiada bermacam-macam “yang baik”. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa
dunia ide itu hanya terdiri dari satu ide saja, melainkan ada banyak ide. Oleh
karena itu dilihat dari segi lain harus juga dikatakan bahwa da kejamakan, ada
bermacam-macam ide, ide manusia, binatang, dan lain-lainnya. Ide yang satu
dihubungkan dengan ide yang lain, umpamanya seperti yang telah dikemukakan: ide
bunga dikaitkan dengan ide bagus, ide api dihubungkan dengan ide panas, dan
sebagainya. Hubungan antara ide-ide ini disebut koinonia (persekutuan). Di
dalam dunia ide itu juga ada hierarki, umpamanya: ide anjing termasuk ide
binatang menyusui, termasuk ide binatang, termasuk ide makhluk dan seterusnya.
Segala ide itu jikalau disusun secara hierarkis memiliki ide “yang baik”
sebagai puncaknya, yang menyinari segala ide.
Tentang
Manusia
Menurut Plato ada dua hal yang utama dalam manusia yaitu
jiwa dan tubuh, keduanya merupakan kenyataan yang harus dibedakan dan
dipisahkan. Jiwa berada sendiri. Jiwa adalah sesuatu yang adikodrati, yang
berasal dari dunia ide dan oleh karenanya bersifat kekal, tidak dapat mati
(Hadiwijono, 43:2005). Tidak seperti Socrates yang menganggap bahwa jiwa
merupakan satu asas tunggal, Plato memiliki pendapat bahwa jiwa memiliki tiga
bagian yaitu: rasional yang dihubungkan dengan kebijaksanaan yang dapat
mengendalikan kepada rasa yang lebih rendah seperti nafsu, kehendak yang
dihubungkan dengan kegagahan, dan keinginan yang dihubungkan dengan nafsu
(Delfgaauw, 25:1992).
Plato percaya bahwa jiwa itu dipenjarakan di dalam tubuh,
oleh karena itu jiwa harus dilepaskan dengan cara berusaha mendapatkan
pengetahuan untuk melihat ide-ide. Plato juga percaya bahwa ada pra-eksistensi
jiwa dan jiwa itu tidak dapat mati. Dalam tubuh jiwa terbelenggu dan untuk
melepas jiwa dari tubuh hanya sedikit orang yang berhasil (mencapai pengetahuan
dan mengalami ide-ide). Sikap yang selalu terpikat pada ke-tubuh-an kongkrit
inilah yang membuat sulit.
Ada sebuah mitos yang diuraikan oleh Plato sehingga dapat
mudah memahami maksud Plato tentang jiwa dan tubuh. Manusia dilukiskan sebagai
orang-orang tawanan yang berderet-deret dibelenggu di tengah-tengah sebuah gua,
dengan muka mereka dihadapkan ke dinding gua, dan tubuh mereka membelakangi
lubang masuk gua. Sementara di luar gua ada api unggun yang sinarnya sampai ke
dalam gua dan di luar itu pula ada banyak orang yang lewat. Secara otomatis
cahaya api unggun tadi membuat bayangan orang pada dinding gua, tentu saja para
tawanan tadi melihat bayangan tadi. Para tawanan itu pun selama hidupnya hanya
melihat bayangan, dan mereka menganggap bahwa itulah kenyataan hidup. Pada
suatu hari seorang tawanan dilepaskan dan dibolehkan untuk melihat ke belakang
ke luar gua. Akhirnya seorang tawanan itu tahu bahwa yang selama ini dilihat
adalah bayangan belaka. Tawanan itu pun menyadari bahwa kenyataan yang baru
saja dilihat ternyata jauh lebih indah dari pada bayangan. Lalu tawanan yang
telah memiliki pengalaman dan menyadari bahwa kenyataan di luar lebih indah itu
menceritakan kepada para tawanan lain. Tetapi reaksi mereka di luar dugaan,
mereka tidak percaya dan membunuh tawanan yang bercerita.
Begitu sulitnya untuk lepas dari belenggu tubuh, oleh
karena itu paling tidak menurut Plato, orang harus berusaha untuk memperoleh
pengetahuan sebanyak-banyaknya tentang kenyataan dan ide-ide. Hal ini juga
berarti Plato tidak menyuruh untuk lari dari dunia, tetapi hal yang sempurna
tidak akan ada didapatkan di dunia ini. Oleh karenanya usaha untuk memperoleh
hal yang terbaik di dunia manusia harus mendapat pendidikan. Pendidikan bukan
hanya persoalan akal semata, tetapi juga memberi bimbingan kepada
perasaan-perasaan yang lebih tinggi, supaya mengarahkan diri pada akal demi
mengatur nafsu-nafsu.
Daftar
Pustaka
Delfgaauw,
Bernard. Sejarah Ringkas Filsafat Barat. Penerjemah: Soejono Soemargono.
PT Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta. 1992.
Hadiwijono,
Dr. Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat I. Penerbit Kanisius:
Yogyakarta. 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar