Setelah kita memahami
bahwa orang menampilkan perilakunya karena latar belakang kenyamanan di post-an
sebelumnya. Maka yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah kapan orang merasa
tidak nyaman. Bila kita bicara tentang rasa tidak nyaman, maka dengan demikian
berarti kita sedang bicara tentang perubahan. Orang berperilaku karena ia
merasa bahwa kenyamanannya mulai berubah atau terancam akan berubah, sehingga
membuatnya menilai bahwa ia butuh melakukan sesuatu guna mendapatkan atau mempertahankan
situasi yang nyamannya itu.
Kalau kita bicara
perubahan, seringkali yang muncul di benak kita adalah kesulitan. Ya, banyak
dari kita yang menilai bahwa perubahan itu sama dengan kesulitan. Perubahan
bukan hanya sulit terjadi tetapi juga sulit dilakukan. Akhirnya kita lalu
menyimpulkan bahwa orang sulit ataupun bahkan tidak ingin berubah. Disini
masalahnya, pemahaman bahwa orang sulit atau bahkan tidak ingin berubah
sebetulnya tidak sungguh-sungguh tepat. Kalu dikatakan perubahan adalah suatu hal
yang sulit dilakukan atau sulit terjadi, memang begitulah adanya. Tetapi hal
itu tidak disebabkan oleh kondisi orang yang tidak ingin berubah. Melalui
pemahaman The Change Process, Bang Jeha dalam (Toge, 2008) mengatakan bahwa
menurut buku yang dibacanya dijelaskan alasan orang jadi tampak sulit berubah
adalah karena orang pada dasarnya tidak ingin di ubah, jadi bukannya tidak
ingin berubah. Hanya saja, kondisi ini hanya dapat terjadi ketika agen
perubahan itu adalah orang lain. Bila agen perubahan itu adalah situasi
(internal maupun eksternal, walaupun orang tidak ingin diubah, maka perubahan
akan tetap terjadi juga sehingga ia akan tetap mengalami perubahan itu dan
pasti akan melewati masa-masa tidak nyaman akibat perubahan itu.
Keadaan dimana orang tidak
mau diubah itulah yang membuat proses perubahan menjadi sulit dilakukan. Hal ini
antarra lain,memang dilatar belakangi oleh faktor kenyamanan yang menjadi
dasar dari setiap perilakuu yang ditampilkan orang. Perubahanmembuat titik
keseimbangan yang membuat orang merasa nyaman, menjadi terganggu. Gangguan
inilah yang kemudian membuat ia jadi merasa tidak nyaman. Selanjutanya,
ketidaknyamanan itu membuat orang terdorong untuk berperilaku, agar ia kembali
mndapatkan kenyamanan karena hasil mencapai titik keseimbangan. Oleh karenanya
orang biassa menampilakan penolakan atau keengganan ketika ia dihadapkan pada
tuntuttan untuk berubah. Akhirnya, orang menjadi terlihat sulit berubah, Karena
ia sesungguhnya tidak ingin diubah.
Seperti sudah
disebutkan bahwa perubahan akan membuat kita merasa tidak nyaman dan kemudian
memunculkan dorongan untuk berperilaku demi mencapai kondisi nyaman yang
diharapkan. Dalam sudut pandang yang lain, disebutkan juga bahwa orang pada
dasarnya tidak ingin diubah. Mengapa sepertinya menjadi simpang siur? Bukankah
bila orang menampilkan perilaku untuk mencapai kondisi nyaman yang diharapkan,
sama artinya dengan melakukan perubahan? Itulah sebabnya upaya menolak tekanan
untuk berubah hanya bisa dilakukan bila agen perubahan itu adalah orang lain.
Artinya, kita bisa melakukan uupaya untuk menolak upaya orang lain, maka kita
tidak bisa bertahan untuk tidak ingin diubah. Alasannya, keengganan itu hanya
akan membuat kita terjebak dalam ketidaknyamanan yang berkelanjutan. Kalau
orang lain meminta kita berubah, masih ada kesempatan bagikita untuk menolak
dengan alasan masih nyaman dengan kondisi saat ini. Kalau kondisi saat inni
kita rasakan mulai tidak menyenangkan, maka tidak ada kesempatan bagi kita
untuk menolak perubahan, Karena kita akan selalu berusaha untuk bisa hidup
dalam kenyamanan.
Berarti, pertanyaannya
adalah apa yang sebetulnya kita hadapi, ketiika kita menyadari akan adanya
perubahan kenyamanan? Jawaban atas pertanyaan itu adalah keinginan untuk
menjadi nyaman. Sementara itu, kebutuhan untuk jadi nyaman akan muncul ke
permukaan saat keinginan jadi nyaman sudah menyatakan keberadaannya atau
eksistensinya di dalam ruang pikir dan/atau rasa. Dengan demikian, sesungguhnya
perilaku itu merupakan bagian dari kebutuhan, bukan keinginan. Perilaku akan
muncul atau terpicu ketika kita memilih untuk berupaya memenuhi kebutuhan demi
mendapatkan keinginan. Ketika muncul keinginan, tidak selallu akan diikuti oleh
perilaku, Karena keinginan tidak secara otomatis membuat kita tergerak.
Keinginan dapat tinggal sebagai keinginan semata, di dalam pikiran dan/atau
perasaan, tanpa keterlibatan tindakan selama kita tidak berupaya
mendapatkannya. Padahal tindakanlah yang membuat pikiran dan/atau perasaan
menjadi hidup, menjadi tampak dan berwujud, menjadi punya makna buat perilaku.
Kesimpulannya, kapan
orang berperilaku? Orang menampilkan perilaku ketika ia memilih untuk dapat
mencapai keinginannya dengan menerjemahkan isi pikiran dan/atau perasaannya ke
dalam tindakan yang relevan atau sesuai, dengan tetap memerhatikan kondisi
fisik secara keseluruhan. Karena hal itu akan membawanya pada kesadaran tentang
adanya kesanggupan (mau sekaligus mampu) untuk bertindak, bukan sekadar
berpikir atau merasa. Karena sesuatu baru disebut sebagai perilaku, ketika
berwujud secara nyata: dapat diamati, dapat diukur, dapat dialami dan
berdampak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar