Dalam tataran teoritis,
dalam tataran konsep, sebetulnya mudah saja bila kita ingin berbahagia. Hal
paling dasar dan utama adalah bersahabat dengan diri sendiri. Selama kita
sanggup (mau dan mampu) bersahabat dengan diri sendiri, maka kita tidak akan
ada yang bisa menghalangi kebahagiaan di dalam diri kita. Setiap saat,
disembarang tempat, kita akan terus berbahagia, walau pada saat itu dan di
tempat itu, kita sedang mengalami peristiwa yang secara nyata membuat kita tidak
nyaman atau bahkan sangat menyulitkan.
Seperti dinyatakan
Viktor Frankl, psikiater yang pernah menjadi salah satu korban kasus holocaust
dan hidup dalam siksa penjara yang sangat tidak manusiawi, “kami yang hidup di
kamp konsentrasi dapat mengingat ketika orang-orang yang berjalan melalui
gubuk-gubuk untuk menghibur oorang-orang
lain, mengorbankan potongan roti mereka yang terakhir. Jumlah mereka mungkin
sedikit, tetapi itu sudah cukup bukti bahwa segalasesuatu dapat direnggut dari
manusia kecuali satu hal, kebebasan terakhir manusia; kebebasan untuk memilih
sikapnya sendiri dalam keadaan apa pun, kebebasan untuk memilih caranya
sendiri.”
Jadi, sesungguhnya
untuk merasa bahagia, karena segala sesuatunya ada dalam diri sendiri dan hanya
melibatkan diri sendiri. Masalahnya bagaimana kita bisa bersahabat dengan diri
sendiri? Ya, itu memang itu massalah besar di dalam kebahagiaan. Masih terlalu
banyak orang yang justru erasa lebih mudah bersahabat dengan orang lain,
daripada bersahabat dengan diri seendiri. Jauh lebih mudah menerima keberadaan
orang lain sebagaimana adanya dia, daripada menerima keseluruhan diri dan pribadi sendiri, sebagaimana adanya sang
diri. Banyak orang yang dengan lapang dada berteman dengan orang cacat, tapi
ketika dirinya mengalami kecacatan, seringkali ia justru berlaku kejam terhadap
dirinya yang cacat itu.
Secara umum, yang di
perlukan untuk dapat bersahabat dengan
diri seendiri adalah membangun nilai positif terhadapa keseluruhan diri dan
pribadi, sebagaimana adanya sang diri. Namun, melakukan hal itu pun menjadi
teramat sulit karena juga massih banyak orang yang seelalu membandingkan
dirinya dengan orang lain. Lebih gawat, bahkan menjadi diri dan pribadi orang
lain sebagai ukuran atau acuan ideal. Akhirnya, ia terus berupaya untuk mencapai
gambaran idea yang ssesungguhnya tidak realistis itu. Di sebut tidak realistis,
karena sejatinya kita tidak akan pernah bisa menjadi sama dan serupa dengan orang
lain. Kita sebagai manusia, bahkan sebagian dari alam semesta, memiliki hakikat
keunikan. Artinya, kita memang berbeda dan keinginan menjadi sama tidaklah
realistis.
Melalui tulisan ini,
saya bermaksud mengajak anda sekalian, untuk mulai belajar bahwa hidup yang
kita jalani saat ini adalah hidup yang paling sempurna yang bisa kita dapatkan.
Hidup iini yang akan membawa kita menuju kebahagiaan kekal abadi, dalam diri
sendiri. Oleh karenanya, marilah kita memperlakukan hidup yang di jlani saat
ini, sebagaimana mestinya, sebagaimana adanya. Bila kita berhasil melakukannya,
niscaya bahagia akan selalu bersemayam di hati. Bila itu terjadi, maka tidak
ada lagi yang kita perlukan, tidak ada lagi kesengsaraan, tidak ada lagi
kekhawatiran, dan juga tidak ada lagi kematian. Ya, tidak aka nada kematian
ketika hidup dalam kebahagiaan, karena hidup atau mati hanyalah persoalan
persepsi. Selama kita dapat memberikan penilaian positif terhadap apa yang
terjadi dalam kehidupan yang kita jalani, maka hidup atau mati hanyalah perkara
yang samadan karenanya tidak perlu dipermasalahkan.
Untuk itu secara
praktis, yang perlu kita lakukan adalah membangun energi positif dalam diri,
agar semua yang dihasilkan diri kita, akan mengandung energi positif sehingga
hasilnya juga dapat diharapkan memiliki nilai-nilai yang positif, bagi
keseluruhan hidup kita. Maka dari itu kita perlu:
1. Belajar
puas terhadap apa yang kita miliki saat ini dan ditempat ini, karena semua
yang kita miliki saat ini dan di tempat ini adalah keseluruhan hidup kita. Bila
kita tidak menginginkan hal itu, maka itu berarti kita juga tidak menginginkan kehidupan yang kita jalani saat ini.
2. Belajar
konsekuen terhadap apa yang kita pilih, karena apapun akibatnya, itulah milik
kita. Bila tidak sanggup (mau dan mampu) konsekuen, maka itu berarti kehidupan
yang saat ini kita jalani bukanlah milik kita. Seperti yang telah dijelaskan,
walau kita tidak melakukan apa-apa, pada akhirnya akan ada energi dari luar
diri kita yang mendorong atau memengaruhi hidup kita. Bila itu yang terjadi,
maka kita juga tidak akan punya kendali atas diri kita. Akhirnya, kita akan sulit
berbahagia karena apa yang kita alami berada di luar diri kita dan kita tidak
punya kendali atasnya.
Mari kita bersahabat
dengan diri sendiri. Mari kita membangun kendali atas diri sendiri. Mari kita
belajar menikmati kehidupan yang kita jalani saat ini. Mari, kita bangun
kebahagiaan sejati di dalam diri. Mari, bersama diri sendiri, kita bahu-membahu
menuntaskan tanggungjawab di dalam ruang hidup masing-masing.
Selamat berbahagia…….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar