Dalam keseharian,
perilaku adalah hal pokok. Masing-masing orang menampilkannya setiap waktu,
sepanjang hari, sepanjang masa hidup. Demikian halnya dengan kebahagiaan juga
adalah bagian dari perilaku yang kita tampilkan dalam kesehariaan. Oleh Karena
itu, sebelum kita bicara soal kebahagiaan, maka ada baiknya kita bahas dahulu
perkara perilaku, agar pemahaman kita ketika bicara soal kebahagiaan, berada
pada tataran berpikir yang setara.
Dalam kaidah keilmuwan,
perilaku biisa didefinisiikan beragam, bergantung pada dasar pemikiran tiap
ilmu yang melandasinya. Dalam kesempatan ini, saya akan membahas perilaku
berdasarkan pemahaman Toge Apriliyanto dalam bukunya yang berjudul “Kurangkul
Diriku Demi Merangkul Bahagiaku”.
Dalam bukunya perilaku
dapat dipahami seperti tokoh animasi “The Fantastic Four”. Setiap tokoh dalam
karya animasi itu, memiliki karakter yang unik, memiliki kelebihan dan
kekurangan yang justru membuatnya tak tergantikan oleh tokoh lainnya. Akibatnya
penampilan mereka hanya akan optimal apabila mereka bersatu. Demikian halnya
dengan perilaku, seperti yang disebutkan oleh Viktor Frankl, seorang psikiater
asal Austria yang merupakan salah satu korban selamat dalam kasus Holacaust,
dalam bukunya yang berjudul The Doctor and The Soul, bahwa “Bila semua orang
sempurna, maka setiap individu dapat digantikan oleh siapapun juga. Karena
ketidaksempurnaan manusia inilah maka setiap individu tidak dapat disia-siakan
ataupun dipertukarkan.”
Lantas, apa yang dimaksud bahwa perilaku analog dengan “The Fantastic Four”. Karena perilaku seperti halnya “The fantastic Four”, merupakan integrase (kesatuan yang tidak dapat dipisahkan) antara empat komponen utama yaitu: pikiran, perassaan, tindakan, dan kondisi fisik.
Lantas, apa yang dimaksud bahwa perilaku analog dengan “The Fantastic Four”. Karena perilaku seperti halnya “The fantastic Four”, merupakan integrase (kesatuan yang tidak dapat dipisahkan) antara empat komponen utama yaitu: pikiran, perassaan, tindakan, dan kondisi fisik.
Pikiran seperti tokoh
Mr. Fantastic dalam “The Fantastic Four” yang dikisahkan punya kecerdasan
paling tinggi di seantero Marvel Universe sehingga secara factual didaulat
menjadi koordinator dari “The Fantastic Four”, juga merupakan komponen perilaku
yang bertugas sebagai coordinator. Ia bertugas meminta pin komponen lain
sehingga tampilan perilaku yang akhirnya muncul dalam aktivitas nyata, menjadi
lebih terkendali. Artinya, dalam keadaan normal, pikiran membuat keputusan
tentang perilaku yang ditampilkan.
Pikiran seperti tokoh
Mr. fantastic dalam “The Fantastic Four”, memiliki keunggulan dalam hal
kelenturan dan keluwesan. Pikiran terus tumbuh dan berkembang , menyesuaikan
diri dengan situasi yang dihadapi demi mendukung perilaku agar dapat terus
berubah dan berkembang menjadi semakin rumit. Dengan keunggulan itu pula, kita
menjadi dapt menghadapi segala kejadian dalam hidup keseharian dengn tetap
menjaga diri kita berada dalam koridor realita.
Perasaan seperti tokoh
The Invisible Woman dalam “The Fantastic Four” yang dikisahkan menjadi
iperwakilan kehadiran sosok perempuan yang emosi (perasaan), sehingga terkadang
juga ditampilkan sebagai sosok yang perlu dilindungi, juga merupakan komponen
perilaku yang bersifat impulsive dan subjektif-fluktuatif (berubah-ubah tergantung
pada situasi sesaat). Kondisi ini dilatarbelakangi oleh komposisi hormonal di
dalam tubuh yang secara umum kita kenal dengan sebutan “temperamen”.
Perasaan seperti tokoh
The Invisible Woman, memiliki keunggulan didalam hal penampakan. Perasaan
dapat mempengaruhi perilaku dan keseharian secarra keseluruhan, tanpa
menunjukkan wujudnya secara kasat mata. Kita dapat mengetahui kehadirannya,
kita juga dapat mengalami keberadaannya, tetapi seringkali kita tidak dapat
secara tepat menggambarkan, membuat definisi atau pemaknaan harfiah tentangnya.
Dengan keunggulan itu pula kita mampu
menghadapi situasi yang tidak mampu dihadapi oleh pikiran.
Tindakan seperti tokoh
The Human Torch dalam “The Fantastic Four” yang dikisahkan seringkali berperan
sebagai “pelaksana tugas” Karena sifat dasarnya yang cenderung bergerak tetapi
pasif, juga merupakan komponen perilaku
yang paling kelihatan secara kasatmata, tetapi juga paling bergantung kepada
komponen lainnya. Dalam hal ini, tindakan memiliki keunggulan dalam kecekatan.
Tindakan yang membuat perilaku menjadi hidup, Karena tanpa tindakan, maka
perilaku tak akan pernah menghasilkan apa-apa. Dengan tindakan kita dapat
terus bergerak maju dan menggapai apa yang sebelumnya tidak bisa dilakukan.
Dengan keunggulan itulah, kita mampu menghadapi segala dinammika kehidupan dan
terus menjadi lebih baik. Dengan keunggulan itulah, kita dapat menyesuaikan
diri dengan perubahan dan tuntutan yang kita hadapi setiap hari, setiap masa.
Kondisi fisik, seperti
tokoh The Thing dalam “The Fantastic Four” yang
dikisahkan sebagai sosook paling kuat secara fisik, juga merupakan komponen
perilaku yang seringkali akhirnya jadi penentu apakah sebuah perilaku bisa
ditampilkan atau tidak. Hal ini disebabkan kondisi fisik menjadi dasar dari
semua tampilan perilaku secara keseluruhan. Bila kondisi fisik tidak mendukung,
maka semua komponen perilaku lainnya tidak akan dapat berfungsi selayaknya.
Dalam
hal ini kondisi fisik memilki keunggulan dalam hal kekuatan struktur yang
kokoh dan ketangguhan menghadapi tantangan dari luar. Kondisi fisik membuat
perilaku menjadi nyata, karena tanpa
dukungan kondisi fisik yang seseuai dan memadai, maka perilaku juga tidak akan
pernah dapat menunjukkan eksistensi/keberadaannya. Perilaku hanya akan berhenti
bahkan terjebak dalam kungkungan ruang fantasi dan imajinasi. Dengan keunggulan
yang dimilki kondisi fisik itu pula, kita menjadi mampu menyatakan keberadaan
diri kita. Menjadi mampu secara konsisten apa yang kita pikirkan
dan kita rasakan dalam bentuk tindakan
yang relevan atau sesuai seperti yang kita harapkan.
Berdasarkan uraian
diatas, perilaku merupakan integrasi dari empat komponen utama yang sudah
dijabarkan diatas. Maksud dari sebutan integrasi ialah utuk menjelaskan bahwa
perilaku tidak mengenal cara “pemungutan suara”. Perilaku hanya mengenal cara
“mufakat”. Maka, perilaku baru akan bisa ditampilkan secara optimal, kalau
keempat komponen utamanya sudah bisa mencapai kata mufakat. Selama keempatnya
belum bermufakat, maka selama itu pula perilaku tidak bisa ditampilkan secara
optimal. Kalau perilaku tetap dipaksakan untuk tampil ketika belum tercapai
kata mufakat diantara keempat komponen utama yang sudah dibahas sebelumnya,
maka yang terjadi adalah apa yang biasa kita sebut dengan istilah ragu-ragu
atau terpaksa yang dampaknya seringkali memunculkan masalah baru dan memicu
terjadinya ketidaknyamanan yang terus berkelanjutan. Kondisi ini terjadi Karena
keempat komponen perilaku itu akan terus berselisih tanpa bisa dikendalikan
lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar