Filosofi Aksara dan Penanggalan Jawa
Membahas mengenai aksara dan penanggalan Jawa, pasti banyak
dari kalian yang tahu tentang salah satu aksara ini atau bahkan salah satu dari
kalian ada yang pernah mempelajarinya atau berniat untuk mempelajaari aksara ini.
Namun, tahukah kalian filosofi atau sejarah dari aksara dan penanggalan Jawa
tersebut? jika kalian tidak tahu maka sangat tepat kalian untuk membaca
tulissan ini, apalagi jika kalian adalah seorang pecinta aksara.
Sejarah Aksara dan Penanggalan Jawa selalu terkait. Kalau
Penanggalan Jawa berdasarkan “Sangkan Dumadining Bawana” atau asal-muasal
terciptanya alam semesta (makrokosmos dan mikrokosmos), sedangkan Aksara Jawa
berdasarkan “Sangkan Paraning Dumadi” atau asal-muasal terjadinya hidup dan
kehidupan (SOURCE SPIRIT ALWAYS OF LIFE). Aksara Jawa pertama kali
diciptakan atau diperkenalkan oleh Mpu Hubayun pada tahun ± 911 SM
(Sebelum Masehi). Dalam perjalanan sejarah pada tahun 50 SM (Sebelum Masehi)
Prabu Sri Maha Punggung I atau Ki Ajar Padang I mengadakan perubahan pada
Haksara dan sastra Jawa.
Bertepatan tanggal 21 Juni 77 M oleh Prabu Ajisaka atau
Prabu Sri Maha Punggung III melakukan kembali perubahan aksara dan Penanggalan
Jawa, dalam budaya Jawa ketika menghitung selalu dimulai dari angka nol (Das),
sehingga Penanggalan Jawa kembali bermulai pada tanggal 1 Badrawarna
(Suro) tahun Sri Harsa, Windu Kuntara adalah tanggal 1, Bulan 1, Tahun 1, Windu
1 tepat pada hari Radite Kasih (Minggu Kliwon) ditetapkan permulaan
perhitungan Penanggalan Jawa, bertepatan tanggal 21 Juni 78 Masehi.
Penanggalan Jawa memakai pedoman peredaran Matahari (Solar). Sedangkan kalender
Caka Hindhu diciptakan oleh Maharaj Kaneshaka dari suku Avicaka di India Utara
pada 23 Maret 78, sekarang tahun barunya disebut tahun baru Nyepi.
Prabu Ajisaka adalah asli orang Jawa bukan dari India, serta
memiliki banyak nama atau gelar, yaitu: Prabu Jaka Sangkala, Prabu
Widayaka, Prabu Sindula, Prabu Sri Maha Punggung III, Ki Ajar Padang III. Salah
satu petilasannya ada di Mrapen (Api Abadi) daerah Grobogan, Purwodadi, Jawa
Tengah. Beberapa bukti kalau Ajisaka asli Jawa adalah:
1. Pusaka
yang diperebutkan oleh para Pembantunya (Punakawan) adalah Keris, sedangkan
sampai detik ini diakui oleh seluruh dunia bahwa Keris adalah asli budaya
Jawa,. Karena kalau seandainya Ajisaka dari India tentunya di India akan banyak
ditemukan pusaka Keris yang kuno maupun yang baru.
2. Para
Pembantu (Punakawan) Ajisaka sebenarnya ada empat (4) orang, bukan dua (2)
orang seperti yang selama ini dikenal orang dan kadang diajarkan di bangku
sekolah. Dari nama-nama para pembantu (punakawan) Ajisaka ditilik dari
bahasa menandakan asli bahasa Jawa Kuna atau Kawi. Sedang Nama-nama Pembantu (Punakawan)
Ajisaka adalah :
a. Dura
: bacanya tetap pakai vokal “a”, karena kalau dibaca pakai vocal “O”
artinya akan berubah jauh dan tidak ada keterkaitan atau tidak relevan
(duro=bohong). Sedangkan dalam berbagai catatan sejarah bahasa dan sastra Jawa
mulai banyak menggunakan vokal “O” pada masa sesudah abad 14 terpengaruh sastra
Arab. Sedang kalau “Dura” (ra dibaca dengan vokal “A”) dalam bahasa Jawa
Kuna berarti “unsur alam dari anasir air “ (Hidrogen), tetapi kalau
“Dura” (ra dibaca dengan vokal “O”) artinya “bohong”.
b. Sambadha
: “badha” kalau dibaca dengan vocal “A” dalam bahasa Jawa Kuna berarti “unsur
alam dari anasir api” (Nitrogen), tetapi kalau dibaca dengan vokal “O”
(sembodho) artinya “mampu” dan tidak relevan atau tidak ada kaitannya dengan
sangkan paraning dumadi maupun sangkan dumadining bhawana.
c. Duga
: “ga” kalau dibaca dengan vokal “A” dalam bahasa Jawa Kuna berarti
“unsur alam dari anasir tanah” (Carbon), tetapi kalau dibaca dengan vokal “O” berarti
“pangati-ati” (dugo-kiro) diartikan dalam bahasa Indonesia secara bebas berarti
“peringatan & arahan” dan juga tidak relevan dengan sangkan paraning dumadi
maupun sangkan dumadining bhawana.
d. Prayuga
: kalau dibaca dengan vokal “A” bahasa Jawa Kuna berarti “unsur alam dari
anasir angin (Oksigen)” , tetapi kalau dibaca “prayugo” artinya “sebaiknya” dan
juga tidak relevan dengan sangkan paraning dumadi maupun sangkan dumadining
bhawana.
3. Semua
empat anasir tersebut adalah anasir alam yang ada pada alam semesta atau Jagad
Gedhe atau Bhawana Ageng atau Makrokosmos, serta terdapat juga pada tubuh
manusia atau Jagad Cilik atau Bhawana Alit atau Mikrokosmos.
4. Sedangkan
nama Ajisaka juga asli bahasa Jawa Kuna (Aji-Saka) yang berarti seorang Raja
yang mengerti dan mempunyai kemampuan spiritual atau Raja-Pinandhita atau
Pemimpin Spiritual. Dengan kata lain adalah seorang pemimpin yang ahli ilmu
tata negara, bangsa, masyarakat (kehidupan), sekaligus menguasai tentang agama
atau spiritual (hidup). Karena Aji artinya Raja, sedang Saka artinya tiang atau
pedoman hidup. Aji Saka berarti seorang raja yang mengerti akan “Hidup” dan
“Kehidupan”.
Sehubungan hal tersebut, pada pasangan (sandangan) aksara
Jawa ada simbol-simbol 4 anasir alam, antara lain:
1. Karbon
atau Tanah disimbolkan dengan Pepet
2. Hidrogen
atau Air disimbolkan dengan Wulu.
3. Nitrogen
atau Api disimbolkan dengan Soco atau Cecek.
4. Oksigen
atau Angin disimbolkan dengan Layar
Di prasasti Candi Borobudhur atau SWAMBHA-BUDHURA, kira-kira
pada abad 7-8 Masehi. Perkiraan penelitian arkeolog dengan meneliti lapisan
batu bawah dan atas, diperkirakan Candi Borobudhur dibangun selama 104 tahun,
Mpu Galian dan Mpu Gunadharma melakukan perubahan atau penyempurnaan kembali
aksara Jawa.
Aksara dalam Bausastra Jawa artinya “tulisan gambaring swara
utawa wanda” kalau dialihkan dalam bahasa Indonesia berarti tulisan gambar dari
suara atau penampilan. Sedangkan dalam bahasa Jawa Kuna aksara dari kata “hak
& sara” yang berarti “darbeg-ing galih” arti bebas dalam bahasa Indonesia
berarti miliknya hati atau suara hati.
Selama ini makna atau filosofi aksara Jawa yang dipahami oleh
masyarakat umum (terutama pada masyarakat pecinta budaya Jawa) banyak sekali
dan sangat beragam, tetapi cenderung terkesan “gathuk mathuk” & “seje silit
seje anggit”, walau dari sisi ilmu sastra masih bisa diterima. Tetapi
yang menjadi keprihatinan, seolah-olah meng-amin-i atau menguatkan pandangan
minor dari masyarakat umum, terutama generasi muda dan orang-orang yang selama
ini membenci budaya Jawa. Kalau budaya Jawa itu identik dengan
gathuk-mathuk, gugon-tuhon, klenik, mistik dan apapun yang terkesan tidak
rasional dan ilmiah. Padahal kalau kita pelajari budaya Jawa yang benar, ada
kata kunci yaitu “kasunyatan lan tinemu ing nalar” atau dengan kata lain
“ilmiah dan rasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar