Senin, 26 Desember 2016

Filosofi Aksara dan Penanggalan Jawa


Filosofi Aksara dan Penanggalan Jawa
Membahas mengenai aksara dan penanggalan Jawa, pasti banyak dari kalian yang tahu tentang salah satu aksara ini atau bahkan salah satu dari kalian ada yang pernah mempelajarinya atau berniat untuk mempelajaari aksara ini. Namun, tahukah kalian filosofi atau sejarah dari aksara dan penanggalan Jawa tersebut? jika kalian tidak tahu maka sangat tepat kalian untuk membaca tulissan ini, apalagi jika kalian adalah seorang pecinta aksara.
Sejarah Aksara dan Penanggalan Jawa selalu terkait. Kalau Penanggalan Jawa berdasarkan “Sangkan Dumadining Bawana” atau asal-muasal terciptanya alam semesta (makrokosmos dan mikrokosmos), sedangkan Aksara Jawa berdasarkan “Sangkan Paraning Dumadi” atau asal-muasal terjadinya hidup dan kehidupan (SOURCE SPIRIT ALWAYS OF LIFE). Aksara Jawa pertama kali diciptakan  atau diperkenalkan oleh Mpu Hubayun pada tahun ± 911 SM (Sebelum Masehi). Dalam perjalanan sejarah pada tahun 50 SM (Sebelum Masehi) Prabu Sri Maha Punggung I atau Ki Ajar Padang I mengadakan perubahan pada Haksara  dan sastra Jawa.
Bertepatan tanggal  21 Juni 77 M oleh Prabu Ajisaka atau Prabu Sri Maha Punggung III melakukan kembali perubahan aksara dan Penanggalan Jawa, dalam budaya Jawa ketika menghitung selalu dimulai dari angka nol (Das), sehingga Penanggalan Jawa kembali bermulai  pada tanggal 1 Badrawarna (Suro) tahun Sri Harsa, Windu Kuntara adalah tanggal 1, Bulan 1, Tahun 1, Windu 1 tepat pada hari Radite Kasih (Minggu Kliwon) ditetapkan permulaan  perhitungan  Penanggalan Jawa, bertepatan tanggal  21 Juni 78 Masehi. Penanggalan Jawa memakai pedoman peredaran Matahari (Solar). Sedangkan kalender Caka Hindhu diciptakan oleh Maharaj Kaneshaka dari suku Avicaka di India Utara pada 23 Maret 78, sekarang tahun barunya disebut tahun baru Nyepi.
Prabu Ajisaka adalah asli orang Jawa bukan dari India, serta memiliki banyak  nama atau gelar, yaitu: Prabu Jaka Sangkala, Prabu Widayaka, Prabu Sindula, Prabu Sri Maha Punggung III, Ki Ajar Padang III. Salah satu petilasannya ada di Mrapen (Api Abadi) daerah Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah. Beberapa bukti kalau Ajisaka asli Jawa adalah:
1.   Pusaka yang diperebutkan oleh para Pembantunya (Punakawan) adalah Keris, sedangkan sampai detik ini diakui oleh seluruh dunia bahwa Keris adalah asli budaya Jawa,. Karena kalau seandainya Ajisaka dari India tentunya di India akan banyak ditemukan pusaka Keris yang kuno maupun yang baru.
2.    Para Pembantu (Punakawan) Ajisaka sebenarnya ada empat (4) orang, bukan dua (2) orang seperti yang selama ini dikenal orang dan kadang diajarkan di bangku sekolah.  Dari nama-nama para pembantu (punakawan) Ajisaka ditilik dari bahasa menandakan asli bahasa Jawa Kuna atau Kawi. Sedang Nama-nama Pembantu (Punakawan) Ajisaka adalah :
a.   Dura : bacanya tetap pakai vokal “a”, karena kalau dibaca  pakai vocal “O” artinya akan berubah jauh dan tidak ada keterkaitan atau tidak relevan (duro=bohong). Sedangkan dalam berbagai catatan sejarah bahasa dan sastra Jawa mulai banyak menggunakan vokal “O” pada masa sesudah abad 14 terpengaruh sastra Arab. Sedang  kalau “Dura” (ra dibaca dengan vokal “A”) dalam bahasa Jawa Kuna berarti “unsur alam  dari anasir air “ (Hidrogen), tetapi kalau “Dura” (ra dibaca dengan vokal “O”) artinya “bohong”.
b.    Sambadha : “badha” kalau dibaca dengan vocal “A” dalam bahasa Jawa Kuna berarti “unsur alam dari anasir api” (Nitrogen), tetapi kalau dibaca dengan vokal “O”  (sembodho) artinya “mampu” dan tidak relevan atau tidak ada kaitannya dengan sangkan paraning dumadi maupun sangkan dumadining bhawana.
c.     Duga : “ga” kalau dibaca dengan vokal “A”  dalam bahasa Jawa Kuna berarti “unsur alam dari anasir tanah” (Carbon), tetapi kalau dibaca dengan vokal “O” berarti “pangati-ati” (dugo-kiro) diartikan dalam bahasa Indonesia secara bebas berarti “peringatan & arahan” dan juga tidak relevan dengan sangkan paraning dumadi maupun sangkan dumadining bhawana.
d.    Prayuga : kalau dibaca dengan vokal “A” bahasa Jawa Kuna berarti “unsur alam dari anasir angin (Oksigen)” , tetapi kalau dibaca “prayugo” artinya “sebaiknya” dan juga tidak relevan dengan sangkan paraning dumadi maupun sangkan dumadining bhawana.
3.   Semua empat anasir tersebut adalah anasir alam yang ada pada alam semesta atau Jagad Gedhe atau Bhawana Ageng atau Makrokosmos, serta terdapat juga pada tubuh manusia atau Jagad Cilik atau Bhawana Alit atau Mikrokosmos.
4.    Sedangkan nama Ajisaka juga asli bahasa Jawa Kuna (Aji-Saka) yang berarti seorang Raja yang mengerti dan mempunyai kemampuan spiritual atau Raja-Pinandhita atau Pemimpin Spiritual. Dengan kata lain adalah seorang pemimpin yang ahli ilmu tata negara, bangsa, masyarakat (kehidupan), sekaligus menguasai tentang agama atau spiritual (hidup). Karena Aji artinya Raja, sedang Saka artinya tiang atau pedoman hidup. Aji Saka berarti seorang raja yang mengerti akan “Hidup” dan “Kehidupan”. 
Sehubungan hal tersebut, pada pasangan (sandangan) aksara Jawa ada simbol-simbol 4 anasir alam, antara lain:
1.      Karbon atau Tanah disimbolkan dengan Pepet
2.      Hidrogen atau Air disimbolkan dengan Wulu.
3.      Nitrogen atau Api disimbolkan dengan Soco atau Cecek.
4.      Oksigen atau Angin disimbolkan dengan Layar
Di prasasti Candi Borobudhur atau SWAMBHA-BUDHURA, kira-kira pada abad 7-8 Masehi. Perkiraan penelitian arkeolog dengan meneliti lapisan batu bawah dan atas, diperkirakan Candi Borobudhur dibangun selama 104 tahun, Mpu Galian dan Mpu Gunadharma melakukan perubahan atau penyempurnaan kembali aksara Jawa.
Aksara dalam Bausastra Jawa artinya “tulisan gambaring swara utawa wanda” kalau dialihkan dalam bahasa Indonesia berarti tulisan gambar dari suara atau penampilan. Sedangkan dalam bahasa Jawa Kuna aksara dari kata “hak & sara” yang berarti “darbeg-ing galih” arti bebas dalam bahasa Indonesia berarti miliknya hati atau suara hati.
Selama ini makna atau filosofi aksara Jawa yang dipahami oleh masyarakat umum (terutama pada masyarakat pecinta budaya Jawa) banyak sekali dan sangat beragam, tetapi cenderung terkesan “gathuk mathuk” & “seje silit seje anggit”,  walau dari sisi ilmu sastra masih bisa diterima. Tetapi yang menjadi keprihatinan, seolah-olah meng-amin-i atau menguatkan pandangan minor dari masyarakat umum, terutama generasi muda dan orang-orang yang selama ini membenci budaya Jawa.  Kalau budaya Jawa itu identik dengan gathuk-mathuk, gugon-tuhon, klenik, mistik dan apapun yang terkesan tidak rasional dan ilmiah. Padahal kalau kita pelajari budaya Jawa yang benar, ada kata kunci yaitu “kasunyatan lan tinemu ing nalar” atau dengan kata lain “ilmiah dan rasional.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar