Senin, 26 Desember 2016

Mitos dan Filosofi Pembuatan Tembikar

Mitos dan Filosofi Tembikar Sungai Janiah
Kerajinan tradisional pada umumnya didukung oleh kekuatan mitos, Karena manusia memandang bahwa dunia ini penuh dengan kekuatan gaib yang lebih tinggi, sehingga mereka melakukan pemujaan kepada kekuatan tersebut. Perbuatan mitos seringkali bertalian dengan perbuatan magis. Perbuatan magis sebagai bentuk pengabdian kepada penguasa alam, dan mitos sebagai usaha melindungi diri dari kejahatan alam. Sebagai contoh mitos adalah manusia yang sedang mengucapkan mantra-mantra atau membuat alat-alat tertentu yang maksudnya untukmelindungi diri (SuwajiBastomi, 1988: 9).Kegagalan membuat tembikar, rusak atau pecahketika dibakar, diyakini sebagai perbuatan jahatoleh makhluk gaib. Oleh sebab itu pengrajin melindungi dirinya dengan membaca mantra-mantra, atau dengan membuat sebuah jimat.
Adapun mitos tembikar sungai Janiah yakni bermula dari sebuah legenda"Ikan Sakti", yaitu ikan yang merupakan penjelmaan dari sepasang makhluk (manusia dan jin). Ikan tersebut tidak boleh diambil untuk dimakan ataupun dijual, dan makanannya adalah sama dengan makanan manusia(nasi, jagung, krupuk, kacang, daging, dsb). Kisah kejadiannya adalah seorang bayi perempuan (usia 8 bulan) ditinggal oleh ibunya di rumah, ketika hendak pergi ke ladang  bersama suami. Tetapi setelah kembali dari lading ternyata bayinya tersebut sudah hilang. Setelah dicari bersama-sama penduduk hingga malam hari, ternyata tidak juga diketemukan, sehingga orang tuanya menjadi pasrah. Pada malam  harinya ibu tersebut bermimpi kalau anaknya sudah menjadi ikan, pada sebuah telaga kecil yang ada di bawah bukit (tidak jauh dari rumah mereka). Dalam mimpinya dikatakan, bahwa di sana terdapat dua ekor ikan (yang satu betina adalah anak ibu tersebut dan yang satu lagi pasangannya, yaitu  penjelmaan dari jin). Sang ibu membuktikannya pada esok hari dengan membawa makanan nasi dan lauk pauk serta memanggilnya dengan mencicit cicit (sesuai petunjuk mimpi). Sang ibu harus menerima kenyataan pahit itu sebagai bentuk hukuman dari penguasa alam.
Kejadian yang menimpa keluarga tersebut dipandang oleh masyarakat sebagai petunjuk, bahwa setiap ibu harus merawat anaknya dengan baik, apalagi kalau meninggalkannya dalam waktu yang cukup lama. Kutukan alam akan datang menimpa setiap orang yang tidak menjalankan kewajibannya secara baik. Semenjak kejadian itu pemuka masyarakat memutuskan bahwa kaum ibu tidak dibolehkan lagi ikut ke ladang, dan sebagai penggantinya mereka bekerjadi rumah membuat tembikar ataupun menenun, (Rivai,Pk. Maruhun).
Bersamaan dengan aturan tersebut, maka kaum laki-laki tidak diizinkan ikut membuat tembikar, karena tugasnya adalah kesawah dan ladang. Terjadi pemisahan kerja antara laki-laki dan perempuan sebagai bentuk pemerataan kesempatan kerja (agar laki-laki tidak menguasai semua lahan pekerjaan).Awalnya pembuatan tembikar hanyalah untuk keperluan sehari-hari sebagai wadah memasak makanan, dan wadah makan minum, yang dipenuhi secara sendiri-sendiri atau keluarga. Tetapi semenjak adanya aturan seperti di atas (setiap kaum ibu menjad ipengerajin tembikar), maka produksi menjadi melimpah melebihi kebutuhan. Kelebihan produksi ini akhirnya harus dijual kepada orang lain. Kemudian timbulah usaha perdagangan, yang ternyata berdampak baik bagi keluarga untuk menambah penghasilan
Kerajinan tembikar yang ditandai dengan hilangnya seorang anak dan menjadikan, yang mengharuskan  kaum ibu hanya bekerja dirumah masing-masing sebagai pengerajin tembikar, menjadi filosofi"Ibu dan Anak" dalam pembuatan tembikar. Betapa kecintaan seorang ibu terhadap anaknya yang hilang, terimplikasikan dalam pekerjaan membuat tembikar. Pembentukan tembikar dilakukan dengan cara memeluknya, dengan menggunakan kedua tangan dan alat bantu sederhana(sebilah papan kecil untuk mengetok dan batu bulat untuk bandulnya). Teknik ini kemudian dikenal dengan teknik tatap landas,(R.Soelcmono,1973: 56 ).
Beberapa tahap pembentukan tembikar diasosiasikan sebagai seorang ibu sedang  mengasuh anaknya. Tahap-tahap itu diberi nama seperti bakanak, maambuai, maambuang, maurak, mangguliak, dan maubek (beranak, dibuaikan, dilambung-lambungkan, dibukakan/pakaiannya, digolek-golekan/ bermain, dan diobati/jika sakit). Pekerjaan ini dilakukan dengan teliti dan penuh kesabanan menunggu hasil yang diharapkan. Hal ini diibaratkan pertumbuhan seorang anak yang memakan waktu lama, untuk menjadi besar dan membalas jasa orang tuanya.
Jadi, kerajinan tembikar pada mulanya tidak dipandang sebagai mata pencahanian, meskipun dapat mendatangkan hasil. Kerajinan tembikar hanya sebagai sambilan bagi kaum ibu, yang tugas utamanya adalah mengurus rumah tangga. Kerajinan tembikar diibaratkan seorang ibu yang memiliki anak, dia bukan memproduksi anak untuk komersial, tetapi anak adalah penyambung keturunan. Begitu pula halnya dengan tembikar yang berfungsi sebagai penyambung hidup dan bukan mencari keuntungan yang besar. Namun dikemudian hari kerajinan tembikar itu juga, berubah tujuannya sehingga lebih mengutamakan tujuan komersial.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar