Mitos
dan Filosofi Tembikar Sungai Janiah
Kerajinan tradisional
pada umumnya didukung oleh kekuatan mitos, Karena manusia memandang bahwa dunia
ini penuh dengan kekuatan gaib yang lebih tinggi, sehingga mereka
melakukan pemujaan kepada kekuatan tersebut. Perbuatan mitos seringkali
bertalian dengan perbuatan magis. Perbuatan magis sebagai bentuk pengabdian
kepada penguasa alam, dan mitos sebagai usaha melindungi diri dari kejahatan
alam. Sebagai contoh mitos adalah manusia yang sedang mengucapkan
mantra-mantra atau membuat alat-alat tertentu yang maksudnya
untukmelindungi diri (SuwajiBastomi, 1988: 9).Kegagalan membuat tembikar, rusak
atau pecahketika dibakar, diyakini sebagai perbuatan jahatoleh makhluk
gaib. Oleh sebab itu pengrajin melindungi dirinya dengan membaca mantra-mantra,
atau dengan membuat sebuah jimat.
Adapun mitos tembikar
sungai Janiah yakni bermula dari sebuah
legenda"Ikan Sakti", yaitu ikan yang merupakan
penjelmaan dari sepasang makhluk (manusia dan jin). Ikan tersebut tidak boleh
diambil untuk dimakan ataupun dijual, dan makanannya adalah sama dengan makanan
manusia(nasi, jagung, krupuk, kacang, daging, dsb). Kisah kejadiannya
adalah seorang bayi perempuan (usia 8 bulan) ditinggal oleh ibunya di rumah,
ketika hendak pergi ke ladang bersama
suami. Tetapi setelah kembali dari lading ternyata bayinya tersebut sudah
hilang. Setelah dicari bersama-sama penduduk hingga malam hari, ternyata tidak
juga diketemukan, sehingga orang tuanya menjadi pasrah. Pada malam harinya ibu tersebut bermimpi kalau anaknya
sudah menjadi ikan, pada sebuah telaga kecil yang ada di bawah bukit
(tidak jauh dari rumah mereka). Dalam mimpinya dikatakan, bahwa di sana
terdapat dua ekor ikan (yang satu betina adalah anak ibu tersebut dan yang satu
lagi pasangannya, yaitu penjelmaan dari
jin). Sang ibu membuktikannya pada esok hari dengan membawa makanan nasi dan
lauk pauk serta memanggilnya dengan mencicit cicit (sesuai petunjuk
mimpi). Sang ibu harus menerima kenyataan pahit itu sebagai bentuk hukuman dari
penguasa alam.
Kejadian yang menimpa keluarga
tersebut dipandang oleh masyarakat sebagai petunjuk, bahwa setiap ibu harus
merawat anaknya dengan baik, apalagi kalau meninggalkannya dalam waktu yang
cukup lama. Kutukan alam akan datang menimpa setiap orang yang tidak menjalankan
kewajibannya secara baik. Semenjak kejadian itu pemuka masyarakat memutuskan
bahwa kaum ibu tidak dibolehkan lagi ikut ke ladang, dan sebagai penggantinya
mereka bekerjadi rumah membuat tembikar ataupun menenun, (Rivai,Pk.
Maruhun).
Bersamaan dengan aturan
tersebut, maka kaum laki-laki tidak diizinkan ikut membuat tembikar, karena
tugasnya adalah kesawah dan ladang. Terjadi pemisahan kerja antara laki-laki
dan perempuan sebagai bentuk pemerataan kesempatan kerja (agar laki-laki tidak
menguasai semua lahan pekerjaan).Awalnya pembuatan tembikar hanyalah untuk
keperluan sehari-hari sebagai wadah memasak makanan, dan wadah makan minum, yang dipenuhi secara
sendiri-sendiri atau keluarga. Tetapi semenjak adanya aturan
seperti di atas (setiap kaum ibu menjad ipengerajin tembikar), maka produksi
menjadi melimpah melebihi kebutuhan. Kelebihan produksi ini akhirnya harus
dijual kepada orang lain. Kemudian timbulah usaha perdagangan, yang ternyata berdampak
baik bagi keluarga untuk menambah penghasilan
Kerajinan tembikar yang
ditandai dengan hilangnya seorang anak dan menjadikan, yang mengharuskan kaum ibu hanya bekerja dirumah masing-masing sebagai
pengerajin tembikar, menjadi filosofi"Ibu dan Anak" dalam pembuatan
tembikar. Betapa kecintaan seorang ibu terhadap anaknya yang hilang,
terimplikasikan dalam pekerjaan membuat tembikar. Pembentukan tembikar dilakukan
dengan cara memeluknya, dengan menggunakan kedua tangan dan alat bantu
sederhana(sebilah papan kecil untuk mengetok dan batu bulat untuk bandulnya).
Teknik ini kemudian dikenal dengan teknik tatap landas,(R.Soelcmono,1973: 56 ).
Beberapa tahap
pembentukan tembikar diasosiasikan sebagai seorang ibu sedang mengasuh anaknya. Tahap-tahap itu diberi nama
seperti bakanak, maambuai, maambuang, maurak, mangguliak, dan
maubek (beranak, dibuaikan, dilambung-lambungkan, dibukakan/pakaiannya, digolek-golekan/
bermain, dan diobati/jika sakit). Pekerjaan ini dilakukan dengan teliti dan
penuh kesabanan menunggu hasil yang diharapkan. Hal ini diibaratkan pertumbuhan
seorang anak yang memakan waktu lama, untuk menjadi besar dan membalas jasa orang
tuanya.
Jadi, kerajinan
tembikar pada mulanya tidak dipandang sebagai mata pencahanian, meskipun dapat mendatangkan
hasil. Kerajinan tembikar hanya sebagai sambilan bagi kaum ibu, yang tugas
utamanya adalah mengurus rumah tangga. Kerajinan tembikar diibaratkan seorang
ibu yang memiliki anak, dia bukan memproduksi anak untuk komersial, tetapi anak
adalah penyambung keturunan. Begitu pula halnya dengan tembikar yang berfungsi sebagai
penyambung hidup dan bukan mencari keuntungan yang besar. Namun
dikemudian hari kerajinan tembikar itu juga, berubah tujuannya sehingga lebih
mengutamakan tujuan komersial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar