Menurut buku yang saya
baca, orang berperilaku ketika ia memilih untuk berupaya memenuhi kebuthannya
demi mendapatkan apa yang diinginkannya. Dengan demikian, bisa disimpulkan
bahwa orang berperilaku dengan cara memilih. Benarkah demikian?
Rene Descartes, seorang
filsuf dari Prancis, pernah mengatakan bahwa perilaku manusia diawali oleh niat
atau intensi. artinya, orang memilih
sebuah perilaku dan menampilakannya dalam bentuk nyata. Sebaliknya, filsuf dari
Yunani bernama Democritus menyatakan bahwa perilaku itu seperti juga segala
sesuatu di alam semesta, terikat pada hukum alamiah yang terpola, seperti
planet yang bergerak mengelilingi pusat galaksi atau jatuhnya sebuah batu
akibat gaya gravitasi. Dengan dimikian, perilaku sebetulnya juga bukan
dikendalikan oleh sebuah kehendak bebas.
Di satu sisi apa yang
dikatakan Descartes bisa kita alami secara nyata. Saya dapat memilih untuk
berhenti menulis dan anda dapat memilih untuk berhenti membaca tullisan ini.
Tetapi, hingga kalimat ini, anda masih terus membaca dan saya juga masih terus menulis agar anda bisa
membacanya. Dengan demikian, perilaku anda membaca dan saya menulis, bukan
digerakan oleh hukum alamiah yang terpola, tetapi kehendak bebas yang kita
tetapkan secara mandiri , berdasarkan niatan tertentu.
Di lain sisi, apa yang
dikatakan Democritus juga tidak boleh diabaikan. Saya memilih menulis dan anda
memilih membaca, juga dipengaruhi oleh sesuatu yang lain. Artinya, perilaku yang
kita tampilkan dalam bentuk menulis dan membaca juga merupakan reaksi atas
sebuah aksi ataupun energi diluar kendali diri kita. Saya menulis sebab saya
tahu tulisan saya dibaca oleh orang lain. Anda membaca karena anda mengetahui
keberadaan tulisan ini. Saya mungkin tidak akan menulis bila saya tahu bahwa
tulisan saya tidak akan dibaca orang lain. Anda mungkin tidak membaca tulisan
ini kalau saja anda tidak tahu bahwa tulisan ini ada. Dengan demikian, perilaku
saya menulis dan anda membaca tidak digerakkan niatan untuk menulis dan/atau
membaca, tetapi digerakkan oleh energy dari luar diri kita: kenyataan orang
membaca bahwa tulisan itu ada.
Selanjutnya untuk
menjawab pertanyaan akibat pertentangan pemahaman bagaiman orang berperilaku,
kita perlu memahami dahulu bagaimana manusia tumbuh dan berkembang, terutama
yang terkait dengan kedewasaan pribadi. Hal ini penting diperhatikan karena
diinilah letak pemahaman yang mampu menjelaskan mengapa pendapat Descartes dan
Demorictus sama-sama benar.
Seperti yang sudah kita
ketahui bahwa perilaku orang dilatar belakangi oleh keinginan untuk mendapatkan atau
mempertahankan kenyamanan, yang secara faktual ditandai oleh keadaan seimbang atau sepakat diantara
komponen perilaku. Artinya, seperti semua hal di alam semesta, manusia juga
terikat terhadap hukum keseimbangn. Jadi, segala sesuatu yang dilakukan manusia
memang dilatar belakangi oleh alasan kenyamanan. Hal ini terjadi karena dan
berlaku sepanjang perkembangan kemampuan berpikir yang dimiliki manusia, belum
mencapai titik optimal. Oleh karenanya, itu menjelaskan mengapa perilaku
anak-anak cenderung bersiafat intrumentalis, seperti sebuah instrument, ia
sekadar bereaksi atas aksi yang dikenakan padanya.
Kemudian, seiring
proses tumbuh kembangnya, termasuk perkembangan kemampuan berpikir yang memang
tergolong paling rumit dan canggih kalau dibandingkan makhluk lain di planet
bumi, maka manusia juga makin mahir mengendalikan fungsi-fungsi berpikirnya.
Dengan demikian, saat sebuah aksi dikenakan padanya, ia tidak lagi secara
otomatis akan menampilkan reaksi yang sudah ada atau terpola, teatpi secara
perlahan didukung oleh bertambahnya pengalaman dan wawasan, ia juga mulai
mampu melakukan penilaian secara personal. Kondisi inilah yang membuat
pemahaman Decartes tantang perilaku menjadi dapat dipahami, termasuk ungkapannya
yang sangat terkenal Cogito Ergo Sum (aku berpikir, maka aku ada).
Dari penjelasan yang
ringkas itu, dapat dipahami bahwa bagaimana orang berperilaku akan bergantung
pada bagaimana pola berpikir yang digunakan pada saat itu. Bila ia menggunakan
pola berpikir kanak-kanak, maka berperilakunya juga akan mengacu pada pola
kanak-kanak. Jadi, perilaku yang ditampilkan cenderung merupakan reaksi atas
situasi yang dihadapi. Ini disebabkan ia hanya memerhatikan faktor kenyamanan
semata. Apa yang ia pikir bia membuatnya nyaman pada saat itu, maka hal itulah
yang dilakukannya. Ia maih belum mampu membuat penilaian tentang kebutuhan yang
diakibatkan oleh keinginan untuk jadi
nyaman. Sebaliknya, bila menggunakan pola berpikir orang dewasa, maka cara
berperilakunya akan mengacu pada pola berpikir orang dewasa. Jadi, ia tidak
semata bereaksi terhadap situasi yang dihadapi. Perilaku yang ditampilkannya
merupakan hasil olah pikir yang menyeluruhh. Perilaku itu adalah pilihan yang
dibuat secara sadar, dari beberapa alternatif yang ada, dengan mempertimbangkan
kebutuhan diakibatkan keinginan menjadi nyaman.
Seperti yang sudah saya
posting sebelumnya, bahwa ketika komponen perilaku tidak mencapai mufakat,
maka yang kita tampilkan selalu akan menjadi tidak optimal. Demikian halnya
dengan perilaku yang ditampilkan pada masa kelam. Dorongan menjadi nyaman
membuat kita menutup akses perasaan
untuk terlibat dalam perilaku yang ditampilkan. Akibatnya, segala hal
yang diperbuat cuma memerhatikan kepentingan diri kita sendiri dan mengabaikan
kepentingan pihak yang lain. Artinya, kita menggunakan pola berpikir
kanak-kanak, yang berarti kita tidak dewasa karena perilaku kita bukan hasil
kehendak bebas, walau pada masa itu kita selalu meneriakkan tuntutan untuk
merdeka. Kenyataannya, tuntutan merdeka itu justru merupakan cermin bahwa aku
adalah orang jajahan. Aku masih dijajah oleh rasa marah dan rasa tidak nyaman,
sehingga tidak mampu berpikir jernih.
Jadi, bila ada orang
disekitar kita yang masih teriak lantang menuntut kemerdekaan, perhatian,
perlakuan adil, artinaya orang-orang itu belum cukup dewasa. Mereka masih
menggunakan pola berpikir kanak-kanak yang hanya memerhatikan kenyamanan
sendiri, tan pa kesanggupan (mau sekaligus mampu) untuk memerhatikan
kepentingan pihak lain diluar dirinya. Dengan demikian, perilaku mereka juga
akan cenderung membuat pihak diluar dirinya menjadi tidak nyaman. Mereka akan
membuat orang disekitarnya tidak nyaman, akan membuat benda-benda disekitarnya
jadi rusak, akan membuat hal ajaib yang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa
mereka adalah korban yang butuh perlindungan dan perlakuan adil, atau
bentuk-bentuk lain yang bersifat destruktif (merusak) diri sendiri maupun pihak
lain diluar dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar