Senin, 26 Desember 2016

Bagaimana Orang Berperilaku?

Menurut buku yang saya baca, orang berperilaku ketika ia memilih untuk berupaya memenuhi kebuthannya demi mendapatkan apa yang diinginkannya. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa orang berperilaku dengan cara memilih. Benarkah demikian?
Rene Descartes, seorang filsuf dari Prancis, pernah mengatakan bahwa perilaku manusia diawali oleh niat atau intensi.  artinya, orang memilih sebuah perilaku dan menampilakannya dalam bentuk nyata. Sebaliknya, filsuf dari Yunani bernama Democritus menyatakan bahwa perilaku itu seperti juga segala sesuatu di alam semesta, terikat pada hukum alamiah yang terpola, seperti planet yang bergerak mengelilingi pusat galaksi atau jatuhnya sebuah batu akibat gaya gravitasi. Dengan dimikian, perilaku sebetulnya juga bukan dikendalikan oleh sebuah kehendak bebas.
Di satu sisi apa yang dikatakan Descartes bisa kita alami secara nyata. Saya dapat memilih untuk berhenti menulis dan anda dapat memilih untuk berhenti membaca tullisan ini. Tetapi, hingga kalimat ini, anda masih terus membaca dan saya juga  masih terus menulis agar anda bisa membacanya. Dengan demikian, perilaku anda membaca dan saya menulis, bukan digerakan oleh hukum alamiah yang terpola, tetapi kehendak bebas yang kita tetapkan secara mandiri , berdasarkan niatan tertentu.
Di lain sisi, apa yang dikatakan Democritus juga tidak boleh diabaikan. Saya memilih menulis dan anda memilih membaca, juga dipengaruhi oleh sesuatu yang lain. Artinya, perilaku yang kita tampilkan dalam bentuk menulis dan membaca juga merupakan reaksi atas sebuah aksi ataupun energi diluar kendali diri kita. Saya menulis sebab saya tahu tulisan saya dibaca oleh orang lain. Anda membaca karena anda mengetahui keberadaan tulisan ini. Saya mungkin tidak akan menulis bila saya tahu bahwa tulisan saya tidak akan dibaca orang lain. Anda mungkin tidak membaca tulisan ini kalau saja anda tidak tahu bahwa tulisan ini ada. Dengan demikian, perilaku saya menulis dan anda membaca tidak digerakkan niatan untuk menulis dan/atau membaca, tetapi digerakkan oleh energy dari luar diri kita: kenyataan orang membaca bahwa tulisan itu ada.
Selanjutnya untuk menjawab pertanyaan akibat pertentangan pemahaman bagaiman orang berperilaku, kita perlu memahami dahulu bagaimana manusia tumbuh dan berkembang, terutama yang terkait dengan kedewasaan pribadi. Hal ini penting diperhatikan karena diinilah letak pemahaman yang mampu menjelaskan mengapa pendapat Descartes dan Demorictus sama-sama benar.
Seperti yang sudah kita ketahui bahwa perilaku orang dilatar belakangi oleh keinginan untuk mendapatkan atau mempertahankan kenyamanan, yang secara faktual ditandai  oleh keadaan seimbang atau sepakat diantara komponen perilaku. Artinya, seperti semua hal di alam semesta, manusia juga terikat terhadap hukum keseimbangn. Jadi, segala sesuatu yang dilakukan manusia memang dilatar belakangi oleh alasan kenyamanan. Hal ini terjadi karena dan berlaku sepanjang perkembangan kemampuan berpikir yang dimiliki manusia, belum mencapai titik optimal. Oleh karenanya, itu menjelaskan mengapa perilaku anak-anak cenderung bersiafat intrumentalis, seperti sebuah instrument, ia sekadar bereaksi atas aksi yang dikenakan padanya.
Kemudian, seiring proses tumbuh kembangnya, termasuk perkembangan kemampuan berpikir yang memang tergolong paling rumit dan canggih kalau dibandingkan makhluk lain di planet bumi, maka manusia juga makin mahir mengendalikan fungsi-fungsi berpikirnya. Dengan demikian, saat sebuah aksi dikenakan padanya, ia tidak lagi secara otomatis akan menampilkan reaksi yang sudah ada atau terpola, teatpi secara perlahan didukung oleh bertambahnya pengalaman dan wawasan, ia juga mulai mampu melakukan penilaian secara personal. Kondisi inilah yang membuat pemahaman Decartes tantang perilaku menjadi dapat dipahami, termasuk ungkapannya yang sangat terkenal Cogito Ergo Sum (aku berpikir, maka aku ada).
Dari penjelasan yang ringkas itu, dapat dipahami bahwa bagaimana orang berperilaku akan bergantung pada bagaimana pola berpikir yang digunakan pada saat itu. Bila ia menggunakan pola berpikir kanak-kanak, maka berperilakunya juga akan mengacu pada pola kanak-kanak. Jadi, perilaku yang ditampilkan cenderung merupakan reaksi atas situasi yang dihadapi. Ini disebabkan ia hanya memerhatikan faktor kenyamanan semata. Apa yang ia pikir bia membuatnya nyaman pada saat itu, maka hal itulah yang dilakukannya. Ia maih belum mampu membuat penilaian tentang kebutuhan yang diakibatkan  oleh keinginan untuk jadi nyaman. Sebaliknya, bila menggunakan pola berpikir orang dewasa, maka cara berperilakunya akan mengacu pada pola berpikir orang dewasa. Jadi, ia tidak semata bereaksi terhadap situasi yang dihadapi. Perilaku yang ditampilkannya merupakan hasil olah pikir yang menyeluruhh. Perilaku itu adalah pilihan yang dibuat secara sadar, dari beberapa alternatif yang ada, dengan mempertimbangkan kebutuhan diakibatkan keinginan menjadi nyaman.
Seperti yang sudah saya posting sebelumnya, bahwa ketika komponen perilaku tidak mencapai mufakat, maka yang kita tampilkan selalu akan menjadi tidak optimal. Demikian halnya dengan perilaku yang ditampilkan pada masa kelam. Dorongan menjadi nyaman membuat kita menutup akses perasaan  untuk terlibat dalam perilaku yang ditampilkan. Akibatnya, segala hal yang diperbuat cuma memerhatikan kepentingan diri kita sendiri dan mengabaikan kepentingan pihak yang lain. Artinya, kita menggunakan pola berpikir kanak-kanak, yang berarti kita tidak dewasa karena perilaku kita bukan hasil kehendak bebas, walau pada masa itu kita selalu meneriakkan tuntutan untuk merdeka. Kenyataannya, tuntutan merdeka itu justru merupakan cermin bahwa aku adalah orang jajahan. Aku masih dijajah oleh rasa marah dan rasa tidak nyaman, sehingga tidak mampu berpikir jernih.
Jadi, bila ada orang disekitar kita yang masih teriak lantang menuntut kemerdekaan, perhatian, perlakuan adil, artinaya orang-orang itu belum cukup dewasa. Mereka masih menggunakan pola berpikir kanak-kanak yang hanya memerhatikan kenyamanan sendiri, tan pa kesanggupan (mau sekaligus mampu) untuk memerhatikan kepentingan pihak lain diluar dirinya. Dengan demikian, perilaku mereka juga akan cenderung membuat pihak diluar dirinya menjadi tidak nyaman. Mereka akan membuat orang disekitarnya tidak nyaman, akan membuat benda-benda disekitarnya jadi rusak, akan membuat hal ajaib yang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa mereka adalah korban yang butuh perlindungan dan perlakuan adil, atau bentuk-bentuk lain yang bersifat destruktif (merusak) diri sendiri maupun pihak lain diluar dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar