Metafisika adalah cabang filsafat
yang hendak menyelidiki kenyataan dari sudut yang paling mendasar, paling
mendalam, sekaligus paling menyeluruh. Oleh kareana itu, metafisika sering juga
disebut sebagai filsafat dasariah atau seperti yang diikatakan oleh
Aristoteles, filsafat pertama. Nah, Aristoteles membuat nama ini sebenarnya
dalam konteks kritiknya terhadap cara berfilsafat para filsuf Yunani Kuno
sebelum dia. Bagi Aristoteles, para filsuf sebelumnya memang berfilsafat,
tetapi belum sampai pada titik yang paling mendalam. Artinya argument-argumen
yang mereka ajukan masihlah sederhana dan belum memuaskan. Karena itulah,
Aristoteles menyebut filsafat sebelumnya sebagai filsafat kedua (Lanur, 2002)
dalam (Reza, 2008).
Ia kemudian mencoba merumuskansuatu
bentuk filsafat yang mencoba menggali semua aspek realitas dari sudutnya yang
palingn mendalam mulali dari tentang alam, tentang Tuhan, tantang jiwa, dan
tentang badan. Ia pun kemudian menamakan cara berfilsafat seperti itu sebagai
filsafat pertama, atau metafisika. Dalam konteks ini, ia ingin menyelidiki
objek-objek yang tidak hanya dapat ditangkap panca indera, tetapi juga
obyek-obyek yang hakikatnya melampaui panca indera tersebut seperti Tuhan.
Yang harus dimengerti yaitu bahwa
metafisika adalah mengacu pada suatu obyek tertentu yang bersifat konkret,
melainkan lebih bersifat formal. Artinya, segala sesuatu di dalam realitas
diselidiki dari sudut yang paling mendalam dan yang paling mendasar. Oleh
karena itu, metafisika dapat dikatakan sebagai suatu refleksi filosofis tentang
realiats paling dalam dan paling akhir secara total. Dengan kata lain,
metafisika hendak mengungkapkan realitas dalam satu konsep dasariah yang paling
total.
Ada beberapa hal yang kiranya perlu
ditambahkan tentang konsep metafisika. Kata meta memiliki arti melampaui dan
sering digunakan untuk mengacu pada aktivitas level kedua, yakni aktivitas yang
mampu menganalisis aktivitas level pertama.
Dalam perjalanan sejarah, metafisika masih menjadi
wilayah abu-abu yang belum memilki status tetap, bahkan sampai sekarang.
Beberapa filsuf berpendapat bahwa pengetahuan yang bersifat metafisis tidaklah
bisa diperoleh kareana melampaui batas-batas pengetahuan manusia. Kata
metafisika pun jadi memperoleh makna yang bersifat konotatif.
Di abad ke-20, A.J. Ayer terkenal
sebagai filsuf yang melakukan revolusi ata smetafisika. Di dalam bukunya yang
berjudul Language, Truth and Logic, ia berpendapat bahwa argumentasi di dalam
metafisika tidaklah bermakna. Hamper sepanjang abad ke-20, universitas-universitas
di Inggris meninggalkan tema-tema metafisika. Akan tetapi, pada awa; abad
ke-21, minat terhadap metafisika tampak kembali tumbuh di Inggris. Popper dalam
bukunya The Logic of Scientific Discovery berpendapat bahwa argumentasi didalam
metafisika bukanlah tidak bermakna, melainkan argumennya tidak dapat diuji, dan dibuktikan salah, atau
difalsifikasi. Dengan kata lain, tidak ada satupun pengamatan empiris yang
dapat membuktikan secara akurat kesahihan argumentasi metafisika. Lagi pula,
biassanya metafisika mengajukan argument tentang alam semesta ataupun tentang
realitas sebaga keseluruhan. Argument-argumen tersebut memang masuk akal,
tetapi tidak dapat diverifikasi secara empiris.
Jadi, metafisika tidak dapat
dibuktiikan benar secara akurat, sekaligus tidak ada satupun argument yang bisa
menyatakan bahwa metafisika tidaklah bermakna. Inilah yang disebut sebagai
nisbi metafisika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar