Senin, 26 Desember 2016

Filosofi Tangkuban Perahu

Filosofi Tangkuban Perahu
Siapa yang tidak tahu Provinsi Jawa Barat, terlebih ibu kota dari provinsi tersebut yakni Bandung yang terkenal dengan sebutan kota Kembang. Tapi tahukah kalian bahwa di Kabupaten Bandung terdapat sebuah tempat rekreasi yang sangat indah yaitu Gunung Tangkuban Perahu. Tangkuban Perahu artinya adalah perahu yang terbalik. Diberi nama seperti karena bentuknya memang menyerupai perahu yang terbalik. Konon menurut cerita rakyat parahyangan gunung itu memang merupakan perahu yang terbalik.
Legenda terjadinya Gunung Tangkuban parahu adalah salah satu cerita rakyat masyarakat Sunda yang paling populer. Legenda Gunung Tangkuban perahu, atau yang dalam tatar Sunda disebut pula sebagai sasakala terjadinya talaga Bandung atau dongeng Sangkuriang, dalam kaitannya sebagai sebuah cerita populer sering dimaknai ‘hanya' sebagai sebuah cerita Oedipus gaya Indonesia. Dalam benak sebagian besar orang menganggap bahwa Sangkuriang adalah seorang penderita Oedipus Complex yang jatuh cinta pada ibunya sendiri. Pandangan inilah yang akhirnya membawa orang pada kesimpulan yang salah tentang makna yang terkandung dalam legenda ini. 
Dalam Legenda Gunung Tangkuban perahu ada sebuah mitos yang akhirnya menjadi pandangan hidup orang Sunda secara keseluruhan. Mitos dalam hal ini adalah erat kaitannya dengan legenda, dongeng, cerita rakyat dan semuanya yang termasuk pada sebuah folklore. Mengenai mitos (C.A. Van Peursen, 1992:37) adalah sebuah cerita (lisan) yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Inti dari mitos adalah lambang-lambang yang menginformasikan pengalaman manusia purba tentang kebaikan dan kejahatan, perkawinan dan kesuburan, serta dosa dan proses katarsisnya. Di lain pihak, Wellek dan Austin Warren (1989) menyebutnya sebagai sebuah cerita anonim mengenai penjelasan tentang asal mula sesuatu, nasib manusia, tingkah laku dan tujuan hidup manusia serta akan menjadi alat pendidikan moral bagi masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Mengacu kepada dua pendapat tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa mitos yang dikandung dalam legenda adalah sumber pengetahuan mengenai kehidupan manusia pada masa lampau. Mitos disusun dalam suatu bentuk cerita sastra lisan sebagai alat transformasinya, sebab bentuk cerita lisan mempunyai pola struktur dan alur yang cukup ajeg dalam menuntun ingatan orang sehingga akan mudah diceritakan kembali.
Sastra lisan yang disebarkan melalui penuturan dari mulut ke mulut memang mempunyai kelebihan dimana dengan bahasa komunikasi sehari-hari orang akan lebih memahami apa yang disampaikan kepadanya. Namun, dalam hal ini sastra lisan mempunyai kelemahan yang elementer karena dengan penyebaran dari mulut ke mulut cerita yang orisinil akan tereduksi oleh si penyampai berita sehingga bisa menimbulkan misinterpretasi. Untuk menghindari kesalahan tafsir yang sangat mungkin terjadi kita perlu terlebih dahulu menguasai dasar-dasar hermeneutika. Kemampuan menafsirkan dan memaknai dalam budaya Sunda disebut dengan kemampuan memanfaatkan Panca Curiga (lima senjata/ilmu), yaitu kemampuan untuk menafsirkan secara: Silib, yaitu memaknai sesuatu yang dikatakan tidak langsung tetapi dikiaskan pada hal lain (allude). Sindir, yaitu penggunaan susunan kalimat yang berbeda (alussion). Simbul, yaitu penggunaan dalam bentuk lambang (symbol, icon, heraldica). Siloka, adalah penyampaian dalam bentuk pengandaian atau gambaran yang berbeda (aphorisma). Dan yang terakhir sasmita, yang berkaitan dengan suasana dan perasaan hati (depth aphorisma).
Metode hermeneutika bisa dipergunakan untuk mencari makna-makna tersembunyi yang terdapat dalam Legenda Gunung Tangkuban parahu. Dalam hal ini kita akan memfokuskan diri pada kajian metafisika pada legenda tersebut untuk mendeteksi pandangan masyarakat Sunda tentang sesuatu yang ada dibalik realitas fisik. 
Adapun Kisah Gunung Tangkuban Perahu ialah sebagai berikut:
Seekor babi hutan bernama Celeng Wayungyang ingin mempunyai anak perempuan berupa manusia, maka dia bertapa di hutan larangan. Pada suatu kali sepulang raja berburu di hutan itu, Celeng Wayungyang keluar dari tempat pertapaanya. Dia menemukan air yang tergenang di dalam tempurung kelapa muda. Karena ia haus, maka air itupun segera ia minum. Ternyata air yang ada di dalam tempurung kelapa itu adalah air seni raja. Maka tidak lama kemudian Celeng Wayungyang pun mengandung dan melahirkan anak perempuan. Anak itu diberi nama Dayang Sumbi. Saat berusia belasan tahun, anak itu bertanya menanyakan siapakah ayahnya. Celeng Wayungyang mengantarkan anaknya  ke keraja-an. Tapi anak itu masuk ke istana sendirian dan baginda raja menerima Dayang Sumbi dengan baik.
Suatu hari Dayang Sumbi menjatuhkan taropong (ialah ruas bambu yang dipakai untuk mengulung benang tenun) secara tidak sengaja ke dalam sungai, karena sewaktu ia menenun di pinggir sungai, matahari sangat terik sehingga membuat konsentrasinya berkurang. Maka Dayang Sumbi bernazar sambil berteriak bahwa siapapun yang menolong dia untuk mengambilkan taropong yang sedang hanyut dipermainkan arus sungai, akan mendapat imbalan. Jika perempuan akan dijadikan saudara dan jika laki-laki akan dijadikan suami. Setelah ia bernazar tiba-tiba Si Tumang, yang adalah seekor anjing, beraksi untuk mengambilkan taropong yang sedang dipermainkan arus sungai. Dayang Sumbi terkejut dan akhirnya menjadikan Si Tumang, yang notabene jantan, menjadi suaminya.
Tidak lama kemudian Dayang Sumbing mengandung kemudian melahirkan seorang anak yang diberi nama Sang Kuriang. Sang Kuriang tumbuh menjadi seorang jejaka tangkas dan kegemarannya adala berburu yang selalu ditemani Si Tumang, tetapi Dayang Sumbi tidak memberitahu identitas ayahnya itu. Suatu hari Dayang Sumbing hendak berbuka puasa dengan menyantap jantung dan meminta Sang Kuriang untuk berburu, tetapi hari ini lain dari biasanya karena tak seekor binatang pun ia jumpai di hutan. Tiba-tiba ia menjumpai babi hutan yang bernama Celeng Wayungyang, tetapi Si Tumang menyalak sehingga mengusir babi hutan tersebut. Sang Kuriang marah besar karena sasaran buruannya tersebut diusir oleh Si Tumang. Akhirnya Si Tumang yang dikuliti oleh Sang Kuriang untuk diambil jantungnya daripada pulang tidak membawa apa-apa.
Sesampai di rumah jantung itu dimasak dan disantap oleh Dayang Sumbi. Setelah jantung itu disantap oleh Dayang Sumbi, barulah Sang Kuriang memberitahu jantung siapa yang ibunya santap. Mendengar itu murkalah Dayang Sumbi dengan memukul kepala anaknya menggunakan tempurung kelapa. Sang Kuriang terkejut melihat reaksi ibunya tersebut, maka sakit hatilah ia dan pergi meniggalkan tempat kelahirannya itu.
            Bertahun-tahun Sang Kuriang merantau, sehingga banyak ilmu yang ia kuasai. Sang Kuriang menjadi manusia yang luar biasa sakti. Ia menguasai jin-jin dan siluman-siluman serta berbagai macam makhuluk halus lainnya. Suatu ketika Sang Kuriang jatuh cinta kepada putri yang kelihatan cantik dan remaja yang ternyata ibunya sendiri, Dayang Sumbi. Hal ini diberitahukan oleh Dayang Sumbi yang melihat bekas luka di kepala Sang Kuriang. Sang Kuriang tidak percaya sama sekali, bahkan hal itu dianggap alasan untuk menghindari cintanya. Melihat bahwa Sang Kuriang tidak dapat disadarkan maka Dayang Sumbi mengajukan syarat, bahwa Sang Kuriang harus membuat perahu yang besar untuk bulan madu beserta danau dalam satu malam, tetapi Sang Kuriang hanya tersenyum, pertanda bahwa ia menyetujuinya.
Sang Kuriang tidak keliatan binggung. Dengan bantuan seluruh jin dan siluman yang takluk padanya, pekerjaan itu hampir selesai menjelang tengah malam. Dayang Sumbi yang mengetahui hal tersebut menjaga ayam jago sehingga berkokok supaya saat itu diaangap telah pagi. Lalu Dayang Sumbi pergi menemui Sang Kuriang dan menyatakan bahwa perjanjian batal karena Sang Kuriang dianggap tidak memenuhi janji. Sang Kuriang yang mendengar suara ayam berkokok itu pun memaklumkannya, maka dengan kesal disepaknya perahu yang belum selesai itu, melesat ke udara, lalu jatuh terlengkup, kemudian menjadi gunung Tangkuban Perahu.
Berdasarkan kisah tersebut maka kita akan menemukan alur kearifan pandangan hidup masyarakat Sunda yang terkandung dalam Legenda Gunung Tangkuban parahu. Kearifan hidup ini dengan begitu cerdasnya dibungkus dalam suatu cerita sastra lisan populer yang bisa dipergunakan oleh setiap manusia dalam menjalani hidupnya baik keberadaan manusia secara lahiriah (fisik) ataupun yang transenden yang berada di balik realitas fisik.
Sangkuriang adalah simbol manusia yang terlempar ke dunia. Dalam hal ini ia berada dalam proses untuk menemukan jati diri kemanusiaannya. Proses pencarian akan nurani ini sangat panjang dan memberikan cobaan yang berat kepada Sang Ego karena keterbatasannya akan segala hal. Dalam pencarian yang maha panjang itu manusia mungkin sudah menjejaki setiap jengkal bumi manusia untuk melahap segala jenis ilmu yang ada di dalamnya. Namun, hanya dengan kesombongan dan ilmu manusia hanya akan selalu merasa tidak lengkap dan merasa ada bagian dari dirinya yang hilang Sang Nurani Yang Tercerahkan. Ternyata rasio manusia tidak lebih dari setitik garam di lautan. Ada yang jauh lebih besar dari manusia, yaitu prinsip pertama yang transenden. Untuk mencapai pada tingkatan itu manusia harus menghancurkan berhala kesombongannya dan menjalankan hidup yang baik dengan alam dan manusia. Dengan menjalankan ini manusia akan mencapai sebuah titik akhir yang sempurna dimana tidak ada lagi pemisah antara Sang Ego dan Sang Nurani. Sang Ego adalah Sang Nurani dan Sang Nurani adalah Sang Ego.
Pada akhirnya ternyata banyak gagasan-gagasan metafisis yang kental dalam Legenda Tangkuban parahu dan itu membuktikan bahwa cerita ini bukan hanya sekedar cerita incest dimana anak jatuh cinta pada ibunya. Ada suatu makna dalam setiap drama kehidupan yang terkadang hanya terlihat realitas fisik dan bukan substansinya. Oleh karena itu, pencarian seperti yang dilakukan oleh Sangkuriang mutlak dilakukan karena kita dijatuhkan ke dunia bukanlah tanpa sebab.


1 komentar:

  1. Konten Yang Sangat Menarik.. Penuh ilmu...

    Kunjungi Blog Kami Juga Ya Kak. Pemainayam.vip - Blog Ayam Jago :)

    BalasHapus