Filosofi
Tangkuban Perahu
Siapa yang tidak tahu
Provinsi Jawa Barat, terlebih ibu kota dari provinsi tersebut yakni Bandung
yang terkenal dengan sebutan kota Kembang. Tapi tahukah kalian bahwa di
Kabupaten Bandung terdapat sebuah tempat rekreasi yang sangat indah yaitu
Gunung Tangkuban Perahu. Tangkuban Perahu artinya adalah perahu yang terbalik.
Diberi nama seperti karena bentuknya memang menyerupai perahu yang terbalik.
Konon menurut cerita rakyat parahyangan gunung itu memang merupakan perahu yang
terbalik.
Legenda terjadinya
Gunung Tangkuban parahu adalah salah satu cerita rakyat masyarakat Sunda yang
paling populer. Legenda Gunung Tangkuban perahu, atau yang dalam tatar Sunda
disebut pula sebagai sasakala terjadinya talaga Bandung atau dongeng Sangkuriang,
dalam kaitannya sebagai sebuah cerita populer sering dimaknai ‘hanya' sebagai
sebuah cerita Oedipus gaya Indonesia. Dalam benak sebagian besar orang
menganggap bahwa Sangkuriang adalah seorang penderita Oedipus Complex yang
jatuh cinta pada ibunya sendiri. Pandangan inilah yang akhirnya membawa orang
pada kesimpulan yang salah tentang makna yang terkandung dalam legenda ini.
Dalam Legenda Gunung
Tangkuban perahu ada sebuah mitos yang akhirnya menjadi pandangan hidup orang
Sunda secara keseluruhan. Mitos dalam hal ini adalah erat kaitannya dengan
legenda, dongeng, cerita rakyat dan semuanya yang termasuk pada sebuah
folklore. Mengenai mitos (C.A. Van Peursen, 1992:37) adalah sebuah cerita
(lisan) yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Inti
dari mitos adalah lambang-lambang yang menginformasikan pengalaman manusia
purba tentang kebaikan dan kejahatan, perkawinan dan kesuburan, serta dosa dan
proses katarsisnya. Di lain pihak, Wellek dan Austin Warren (1989) menyebutnya
sebagai sebuah cerita anonim mengenai penjelasan tentang asal mula sesuatu,
nasib manusia, tingkah laku dan tujuan hidup manusia serta akan menjadi alat
pendidikan moral bagi masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Mengacu kepada
dua pendapat tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa mitos yang dikandung dalam
legenda adalah sumber pengetahuan mengenai kehidupan manusia pada masa lampau.
Mitos disusun dalam suatu bentuk cerita sastra lisan sebagai alat
transformasinya, sebab bentuk cerita lisan mempunyai pola struktur dan alur
yang cukup ajeg dalam menuntun ingatan orang sehingga akan mudah diceritakan
kembali.
Sastra lisan yang
disebarkan melalui penuturan dari mulut ke mulut memang mempunyai kelebihan
dimana dengan bahasa komunikasi sehari-hari orang akan lebih memahami apa yang
disampaikan kepadanya. Namun, dalam hal ini sastra lisan mempunyai kelemahan
yang elementer karena dengan penyebaran dari mulut ke mulut cerita yang
orisinil akan tereduksi oleh si penyampai berita sehingga bisa menimbulkan
misinterpretasi. Untuk menghindari kesalahan tafsir yang sangat mungkin terjadi
kita perlu terlebih dahulu menguasai dasar-dasar hermeneutika. Kemampuan
menafsirkan dan memaknai dalam budaya Sunda disebut dengan kemampuan
memanfaatkan Panca Curiga (lima senjata/ilmu), yaitu kemampuan untuk
menafsirkan secara: Silib, yaitu memaknai sesuatu yang dikatakan tidak langsung
tetapi dikiaskan pada hal lain (allude). Sindir, yaitu penggunaan susunan
kalimat yang berbeda (alussion). Simbul, yaitu penggunaan dalam bentuk lambang
(symbol, icon, heraldica). Siloka, adalah penyampaian dalam bentuk pengandaian
atau gambaran yang berbeda (aphorisma). Dan yang terakhir sasmita, yang
berkaitan dengan suasana dan perasaan hati (depth aphorisma).
Metode hermeneutika
bisa dipergunakan untuk mencari makna-makna tersembunyi yang terdapat dalam
Legenda Gunung Tangkuban parahu. Dalam hal ini kita akan memfokuskan diri pada
kajian metafisika pada legenda tersebut untuk mendeteksi pandangan masyarakat
Sunda tentang sesuatu yang ada dibalik realitas fisik.
Adapun Kisah Gunung Tangkuban Perahu
ialah sebagai berikut:
Seekor babi hutan
bernama Celeng Wayungyang ingin mempunyai anak perempuan berupa manusia, maka
dia bertapa di hutan larangan. Pada suatu kali sepulang raja berburu di hutan
itu, Celeng Wayungyang keluar dari tempat pertapaanya. Dia menemukan air yang
tergenang di dalam tempurung kelapa muda. Karena ia haus, maka air itupun
segera ia minum. Ternyata air yang ada di dalam tempurung kelapa itu adalah air
seni raja. Maka tidak lama kemudian Celeng Wayungyang pun mengandung dan
melahirkan anak perempuan. Anak itu diberi nama Dayang Sumbi. Saat berusia
belasan tahun, anak itu bertanya menanyakan siapakah ayahnya. Celeng Wayungyang
mengantarkan anaknya ke keraja-an. Tapi anak itu masuk ke istana
sendirian dan baginda raja menerima Dayang Sumbi dengan baik.
Suatu hari Dayang Sumbi
menjatuhkan taropong (ialah ruas bambu yang dipakai untuk mengulung
benang tenun) secara tidak sengaja ke dalam sungai, karena sewaktu ia menenun
di pinggir sungai, matahari sangat terik sehingga membuat konsentrasinya
berkurang. Maka Dayang Sumbi bernazar sambil berteriak bahwa siapapun yang
menolong dia untuk mengambilkan taropong yang sedang hanyut
dipermainkan arus sungai, akan mendapat imbalan. Jika perempuan akan dijadikan
saudara dan jika laki-laki akan dijadikan suami. Setelah ia bernazar tiba-tiba
Si Tumang, yang adalah seekor anjing, beraksi untuk
mengambilkan taropong yang sedang dipermainkan arus sungai. Dayang
Sumbi terkejut dan akhirnya menjadikan Si Tumang, yang notabene jantan, menjadi
suaminya.
Tidak lama kemudian
Dayang Sumbing mengandung kemudian melahirkan seorang anak yang diberi nama
Sang Kuriang. Sang Kuriang tumbuh menjadi seorang jejaka tangkas dan
kegemarannya adala berburu yang selalu ditemani Si Tumang, tetapi Dayang Sumbi
tidak memberitahu identitas ayahnya itu. Suatu hari Dayang Sumbing hendak
berbuka puasa dengan menyantap jantung dan meminta Sang Kuriang untuk berburu,
tetapi hari ini lain dari biasanya karena tak seekor binatang pun ia jumpai di
hutan. Tiba-tiba ia menjumpai babi hutan yang bernama Celeng Wayungyang, tetapi
Si Tumang menyalak sehingga mengusir babi hutan tersebut. Sang Kuriang marah
besar karena sasaran buruannya tersebut diusir oleh Si Tumang. Akhirnya Si
Tumang yang dikuliti oleh Sang Kuriang untuk diambil jantungnya daripada pulang
tidak membawa apa-apa.
Sesampai di rumah
jantung itu dimasak dan disantap oleh Dayang Sumbi. Setelah jantung itu
disantap oleh Dayang Sumbi, barulah Sang Kuriang memberitahu jantung siapa yang
ibunya santap. Mendengar itu murkalah Dayang Sumbi dengan memukul kepala
anaknya menggunakan tempurung kelapa. Sang Kuriang terkejut melihat reaksi
ibunya tersebut, maka sakit hatilah ia dan pergi meniggalkan tempat
kelahirannya itu.
Bertahun-tahun
Sang Kuriang merantau, sehingga banyak ilmu yang ia kuasai. Sang Kuriang
menjadi manusia yang luar biasa sakti. Ia menguasai jin-jin dan siluman-siluman
serta berbagai macam makhuluk halus lainnya. Suatu ketika Sang
Kuriang jatuh cinta kepada putri yang kelihatan cantik dan remaja yang ternyata
ibunya sendiri, Dayang Sumbi. Hal ini diberitahukan oleh Dayang Sumbi yang
melihat bekas luka di kepala Sang Kuriang. Sang Kuriang tidak percaya sama
sekali, bahkan hal itu dianggap alasan untuk menghindari cintanya. Melihat
bahwa Sang Kuriang tidak dapat disadarkan maka Dayang Sumbi mengajukan syarat,
bahwa Sang Kuriang harus membuat perahu yang besar untuk bulan madu beserta
danau dalam satu malam, tetapi Sang Kuriang hanya tersenyum, pertanda bahwa ia
menyetujuinya.
Sang Kuriang tidak
keliatan binggung. Dengan bantuan seluruh jin dan siluman yang takluk padanya,
pekerjaan itu hampir selesai menjelang tengah malam. Dayang Sumbi yang
mengetahui hal tersebut menjaga ayam jago sehingga berkokok supaya saat itu
diaangap telah pagi. Lalu Dayang Sumbi pergi menemui Sang Kuriang dan
menyatakan bahwa perjanjian batal karena Sang Kuriang dianggap tidak memenuhi
janji. Sang Kuriang yang mendengar suara ayam berkokok itu pun memaklumkannya,
maka dengan kesal disepaknya perahu yang belum selesai itu, melesat ke udara,
lalu jatuh terlengkup, kemudian menjadi gunung Tangkuban Perahu.
Berdasarkan kisah
tersebut maka kita akan menemukan alur kearifan pandangan hidup masyarakat
Sunda yang terkandung dalam Legenda Gunung Tangkuban parahu. Kearifan hidup ini
dengan begitu cerdasnya dibungkus dalam suatu cerita sastra lisan populer yang
bisa dipergunakan oleh setiap manusia dalam menjalani hidupnya baik keberadaan
manusia secara lahiriah (fisik) ataupun yang transenden yang berada di balik
realitas fisik.
Sangkuriang adalah
simbol manusia yang terlempar ke dunia. Dalam hal ini ia berada dalam proses
untuk menemukan jati diri kemanusiaannya. Proses pencarian akan nurani ini
sangat panjang dan memberikan cobaan yang berat kepada Sang Ego karena
keterbatasannya akan segala hal. Dalam pencarian yang maha panjang itu manusia
mungkin sudah menjejaki setiap jengkal bumi manusia untuk melahap segala jenis
ilmu yang ada di dalamnya. Namun, hanya dengan kesombongan dan ilmu manusia
hanya akan selalu merasa tidak lengkap dan merasa ada bagian dari dirinya yang
hilang Sang Nurani Yang Tercerahkan. Ternyata rasio manusia tidak lebih dari
setitik garam di lautan. Ada yang jauh lebih besar dari manusia, yaitu prinsip
pertama yang transenden. Untuk mencapai pada tingkatan itu manusia harus
menghancurkan berhala kesombongannya dan menjalankan hidup yang baik dengan
alam dan manusia. Dengan menjalankan ini manusia akan mencapai sebuah titik
akhir yang sempurna dimana tidak ada lagi pemisah antara Sang Ego dan Sang
Nurani. Sang Ego adalah Sang Nurani dan Sang Nurani adalah Sang Ego.
Pada akhirnya ternyata
banyak gagasan-gagasan metafisis yang kental dalam Legenda Tangkuban parahu dan
itu membuktikan bahwa cerita ini bukan hanya sekedar cerita incest dimana anak
jatuh cinta pada ibunya. Ada suatu makna dalam setiap drama kehidupan yang
terkadang hanya terlihat realitas fisik dan bukan substansinya. Oleh karena
itu, pencarian seperti yang dilakukan oleh Sangkuriang mutlak dilakukan karena
kita dijatuhkan ke dunia bukanlah tanpa sebab.
Konten Yang Sangat Menarik.. Penuh ilmu...
BalasHapusKunjungi Blog Kami Juga Ya Kak. Pemainayam.vip - Blog Ayam Jago :)